Kamis, 04 Februari 2010

Rekomendasi Seminar Imamah Masjid I Tahun 2006

Nomor : 03/Pn.Khs/Sos.LK.MMBM/2007 Padang 1 Oktober 2007

Lampiran : 2 buah makalah

Sifat : Penting

Hal : Rekomendasi dan Proposal

K e p a d a

Yth.

Bapak/Ustadz/Buya

Assalamu`alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh

Dengan hormat,

Kami Panitia Khusus Sosialisasi, mewakili para peserta, pemakalah dan panitia Seminar “Imamah al-Masjid(Kepemimpinan Spritual Umat) yang dilaksanakan pada tanggal 8 April 2006, bertempat di aula Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM) Sumatera Barat di Padang dengan tema: Reaktualisasi dan Revitalisasi Lembaga Keimaman untuk Membentuk Masyarakat Muslim Berbasis Masjid (MMBM) dan Melahirkan Ulama Pemandu Umat Masa Depan (al-Imam), bahasan yang sama juga telah diseminarkan di Masjid Agung Kota Sawahlunto atas prakarsa Pimpinan Daerah Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kota Sawahlunto pada tanggal 26 Mei 2007 yang lalu. Setelah memperhatikan, mencatat dan menghimpun seluruh masukan dalam diskusi selama seminar-seminar tersebut itu, dengan ini kami sampaikan kepada Bapak/Buya/Ustadz/Ibu/Saudara bahwa Seminar tersebut telah menghasilkan beberapa kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut:

1. Bahwa pelaksanaan shalat adalah penerapan syari`at Islam yang paling utama, ia harus diutamakan sebelum menerapkan berbagai ketentuan syari`at `amaliyah lainnya. Sebab shalat itu adalah salah satu rukun Islam dan ia adalah tiang agama (`imad al-din). Pelaksanaan shalat berjama`ah di masjid yang dipimpin oleh imam, adalah pokok dari syi`ar-syi`ar Islam yang terpenting.

2. Bahwa tidak semua orang dapat atau layak diangkat menjadi imam masjid karena untuk menjadi imam shalat atau imam masjid tersebut harus memiliki syarat-syarat dan kompetensi yang telah ditentukan di dalam sunnah al-Nabawiyyah.

3. Bahwa ternyata Rasulullah SAW telah menjadikan kompetensi keimaman shalat sebagai syarat utama untuk mengangkat seseorang menjadi pemimpin kaum muslimin seperti, gubernur atau panglima perang. Hal itu kemudian menjadi dasar bagi para sahabat mengutamakan al-Imam Abu bakar al-Shiddiq sebagai khalifah Nabi (pengganti posisi Nabi sebagai pemimpin/imam, kecuali kenabiannya). Hal ini ditegaskan oleh Taqiyy al-Din Ibnu Taymiyyah dalam kitab al-Siyāsat al-Syar`iyyat li Ishlāh al-Rā`iy wa al-Rā`iyyah, yakni, bahwa sunnah tentang kompetensi keimamahan shalat di atas sebagai syarat pengangkatan para pemimpin pemerintahan dan panglima angkatan bersenjata dalam Islam adalah sangat kuat. Hal itu dapat dirujuk kepada perintah pertama Rasulullah SAW yang beliau tujukan bagi para gubernur ataupun panglima perang yang baru diangkat, agar mereka senantiasa mengimami shalat, menjaga penegakan shalat atas seluruh bawahan dan masyarakat yang mereka pimpin. Demikian juga ditegaskan dalam al-Ahkam al-Shultaniyyah oleh al-Mawardi pada bagian tugas-ugas gubernur jenderal, al-Muqaddimah oleh Ibn Khaldun pada bab al-khilafah wa al-imamah dan buku al-Nuzhum al-Islamiyyah li al-Sunnah al-Taujihiyyah yang ditulis oleh tiga orang pakar yakni DR. Hasan Ibrahim Hasan, DR. Muhammad Abd. Al-Rahim al-Mushthafa dan DR. Ali Ibrahim Hasan. Hal ini juga diungkapkan dalam berbagai kitab tarikh Islam dan berbagai sumber rujukan lainnya yang isinya saling menguatkan.

4. Bahwa ternyata sunnah yang sangat penting tersebut telah tenggelam selama berabad-abad. Semua itu sebagai akibat perubahan bentuk kekuasaan negara dari sistem khilafah al-Nabawiyyah yang berdasarkan syura dan kera`iyahan Islam menjadi sistem kerajaan (monarchi) yang dikuasai oleh dinasti, kelompok suku dan keluarga tertentu. Demi kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan dinasti tersebut, maka mereka tidak lagi menggunakan standar kompetensi keimaman yang didasari kefaqihan sebagai syarat utama untuk memilih seseorang menjadi pemimpin umat. Padahal kriteria tersebutlah yang diberlakukan oleh para shahabat untuk pemilihan para khulafa’ al-rasyidun yang berempat, sebagai bentuk manhaj al-shahabat dalam mengamalkan nash al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

5. Walaupun diakui bahwa persyaratan sebagaimana tersebut di atas tidak mudah untuk dimiliki oleh sembarangan orang, namun demikian, seharusnya disadari bahwa di sinilah sebenarnya terletak sisi kekuatan kepemimpinan umat di dalam Islam, yakni pada sistem keimamannya. Oleh sebab itu semestinya sistem ini dilestarikan dengan benar dan baik dari masa ke masa sesuai menurut garis-garis syari`at Islam. Walaupun harus dengan penyesuaian pada beberapa segi karena pertimbangan terhadap realitas yang ada di tengah kehidupan masyarakat dan negara. Seperti, bahwa imam tidak lagi digambarkan sebagai orang yang memegang kekuasaan pemerintahan negara karena konstitusi tidak memungkinkan untuk itu. Namun demikian, sesuai dengan prinsip logika hukum “ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh” apa yang tidak bisa dicapai secara sempurna maka jangan diabaikan seluruh bagiannya. Artinya harus ada usaha untuk mempertahankan bahagian yang dapat dicapai, dan itu akan menjadi modal untuk mencapai kesempurnaan pada suatu saat kelak, jika secara konsisten dan istimrariyyah ia tetap diusahakan untuk terwujud, tanpa menghentikan upaya-upaya yang relefan ke arah mencapainya.

6. Kitab-kitab yang berisi tentang sejarah umat Islam menginformasikan bahwa setelah urusan penegakan shalat tidak lagi dipimpin dan diatur langsung oleh pemimpin negara, gubernur jenderal atau para raja yang berkuasa, ternyata sebagian di antara penguasa negara masih ada yang memandang perlu untuk mengangkat secara resmi para imam shalat bagi masjid tertentu (masjid negara). Dengan tujuan agar mereka dapat mewakili tugas para sultan dan raja-raja (pemerintah) mengimami shalat tersebut. Hal seperti ini masih berlaku hingga sekarang di beberapa negara Islam seperti: Saudi Arabia, Kuwait, Malaysia dan lain-lain.

7. Adapun gagasan yang tertuang dalam konsep imamah al-masjid yang terdapat dalam makalah/proposal yang kami sampaikan ini bukan hanya semata bertujuan sekedar mengimami shalat semata, namun lebih dari itu. Yakni untuk mengarahkan seorang al-Imam (disebut di sini dengan Tuanku Imam Besar) secara sistematis untuk menjadi ulama pemandu umat (the real `ulama’) di masa depan. Agar mereka dapat memimpin masyarakat muslim yang berada di sekitar masjid (radius tertentu dari “wilayah masjid”) untuk menjadi komunitas Masyarakat Muslim Berbasis Masjid (MMBM). Tuanku Imam Besar tersebut selain tugas utamanya memimpin shalat, juga membina para imam masjid dan mushala yang ada di sekitarnya (dalam satu wilayah kecamatan) atau yang disebut para tuanku imam muda masjid dan mushalla. Dia juga diharapkan nantinya dapat berfungsi memimpin umat, sebagai “pemimpin spiritual” (spritual leader), mua`llim (guru), murabbiy (pendidik), muwajjih (pengarah), da`i (penyeru ke jalan Allah), ringkasnya sebagai the real al-Imam dalam melaksanakan ajaran agama, peningkatan kualitas spritual dan akhlak mulia, baik bagi diri pribadinya agar dapat menjadi panutan umat, keluarga dan masyarakatnya. Mereka diharapkan dapat menjadi motor penggerak untuk membentuk masyarakat yang berkarakter Madaniyyah, masyarakat yang sehat, unggul dalam hal mental-spritual (al-mujtama` al-fadhilah); berakhlak mulia, taat kepada syari`at dan patuh kepada hukum, terpimpin dalam hal duniawi dan hal ukhrawi mereka. Semuanya itu bertujuan agar umat dapat saling menjaga dan melindungi antara sesama muslim dari serangan misi dari luar yang akan merusak agama dan moral. Agar tercipta ketahanan umat, kedamaian, kesentosaan, saling toleransi beragama yang adil dan berimbang dengan komunitas non muslim yang ada.

8. Para Tuanku Imam Besar dimaksud diprogramkan untuk dapat menjadi pembimbing keagamaan (murabbiy/mursyid) bagi aparatur pemerintahan dan negara di wilayah mereka bertugas. Ini bertujuan untuk dapat mewujudkan aparatur pemerintahan dan negara, baik sipil atau militer, yang terbimbing dengan baik dalam keimanan, ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Program ini dapat dipandang sebagai upaya penting membangun negara melalui pembinaan mental dan spritual Islam intensif terhadap para pejabat dan aparaturnya, baik secara perorangan maupun berkelompok. Dan program tersebut diwujudkan melalui program takhashush Islamiyah di masjid-masjid yang dipimpin oleh Tuanku Imam Besar tersebut.

9. Dengan mempertimbangkan fungsi dan tujuannya yang besar itu, maka para Tuanku Imam Besar tersebut harus diangkat secara resmi dan dikukuhkan oleh Lembaga Keimaman Nasional Indonesia yang pada awalnya dibentuk dari himpunan ulama terkemuka yang berasal dari unsur perguruan tinggi Islam yang ada dan ditambah dengan wakil-wakil dari berbagai ormas Islam yang diakui. Selain itu juga diupayakan dukungan dari pemerintah, menteri agama dan jajaran departemen agama, pemerintah daerah hingga tingkat terendah dan masyarakat luas.

10. Mengingat bahwa program ini termasuk besar dan melibatkan berbagai pihak maka mereka yang dikukuhkan sebagai Tuanku Imam Besar itu seharusnya adalah orang-orang pilihan. Mereka harus memenuhi standar tertentu antara lain seperti, sehat jasmani dan rohani, cerdas, berpendidikan paling kurang Magister Agama Islam atau setara dengannya dan diutamakan yang berpendidikan doktor (S3) dalam ilmu syari`ah, tafsir dan hadis sehingga relefan untuk menjadi mufti. Selain itu juga harus hafizh al-Qur’an, faqih, zuhud, wara`, mampu mengemban tugas kepemimpinan umat menurut ajaran sunnah Rasulullah SAW dan manhaj fuqaha’ al-shahabah. Para Tuanku Imam tersebut diharapkan sekaligus sebagai para mufti, tempat umat meminta fatwa hukum dan agama. Untuk itu sebelum seseorang dikukuhkan (dibai`ah) sebagai Tuanku Imam Besar seumur hidup, terlebih dahulu ia harus mengikuti program khusus pendidikan fungsional keimaman, yang setara dengan program tingkat pascasarjana khusus untuk pendidikan fungsional. Dalam program pendidikan khusus tersebut juga diseimbangkan antara pendidikan keilmuan, pengamalan, akhlak mulia yang mencakup amaliyah zahir dan amaliah bathin (yang dikenal dengan istilah tashawwuf), ilmu dakwah (fiqh al-da’wah) dan ilmu tarbiyyah Islamiyah ditambah dengan berbagai ilmu penunjang lainnya.

11. Bahwa untuk mengaktualisasikan kembali sunnah Rasulullah SAW tersebut perlu adanya usaha untuk Revitalisasi Lembaga Keimaman sesuai dengan dasar-dasarnya yang kuat untuk memperoleh manfaat yang besar dalam upaya membangun dan membina umat Islam; agar terpelihara dari segala hal buruk, ataupun misi pihak lain yang bermaksud merusak aqidah, muamalah dan akhlak umat Islam. Maka untuk itu perlu ditempatkan minimal satu orang Tuanku Imam Besar pada masing-masing tingkat wilayah kecamatan yang mayoritas muslim, di masjid yang telah ditentukan yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan program ini.

12. Program Lembaga Keimaman ini juga dimaksudkan untuk membentengi umat dari pengaruh berkembangnya aliran sesat, hingga membentengi umat dari pengaruh figur-figur yang muncul secara dadakan atas nama gerakan keagamaan tanpa memiliki kompetensi yang memadai untuk itu. Seperti mereka yang ternyata bukan alumni pendidikan khusus agama Islam yang diakui baik dalam maupun luar negeri. Karena bila fenomena seperti itu dibiarkan berlarut-larut akan cenderung membingungkan umat dalam memahami Islam secara benar, karena mendapatkan informasi tentang Islam dari orang-orang yang bukan ahlinya. Fenomena seperti ini kerap muncul di media elektronik, televisi, yang disiarkan secara nasional. Oleh karena itu masyarakat muslim Indonesia khususnya membutuhkan adanya figur-figur berkualitas, yakni para Tuanku Imam Besar yang berfungsi sebagai imam, murabbiy dan mufti bagi umat. Mereka ini berasal dari generasi muslim (mahasiswa) yang berkualitas unggul dan telah terdidik secara khusus pada Ma`had `Aliy untuk pendidikan imam yang faqih. Sehingga memiliki kompetensi dan kualitas unggul. Inilah yang seharusnya disediakan dengan sesegera mungkin untuk memenuhi kebutuhan umat muslim di masing-masing wilayah kecamatan hingga tingkat nasional.

Berdasarkan hal tersebut di atas:

dengan ini kami menyampaikan Rekomendasi:

1. Mengusulkan dan memohon kepada semua pihak: Pemerintah Pusat dan Daerah, Pimpinan Departemen Agama, UIN, IAIN dan STAIN, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Masjid Indonesia (DMI), Ormas dan Parpol Islam, serta seluruh pihak yang terkait untuk berkenan memberikan dukungan baik berupa moril, materil dan fasilitas yang memungkinkan untuk sosialisasi, melalui pelaksanaan seminar dan lokakarya atau bentuk lainnya sebagai langkah untuk merintis pembentukan panitia bersama dalam rangka mewujudkan terbentuknya:

a. Lembaga /Program Pendidikan Tinggi Keimaman Indonesia (al-Ma`had al-`Ali li Tarbiyyat A’immah al-Muslimin Indonesia) yang setingkat dengan program pendidikan Purnasarjana. Program ini jika memungkinkan sebaiknya menjadi bahagian dari Program Purnasarjana di Perguruan Tinggi Agama Islam yang ada (seperti IAIN atau UIN). Lembaga ini bertujuan sebagai pelaksana pendidikan khusus fungsional keimaman, untuk melahirkan para Tuanku Imam Besar bagi kebutuhan umat Islam sewilayah regional Indonesia dan Rantau Melayu. Bila lembaga pendidikan khusus ini dapat didirikan, maka ini adalah yang pertama kali di Asia Tenggara sepanjang sejarah.

b. Membentuk Lembaga Keimaman Nasional Indonesia yang independen non pemerintah, sebagaimana halnya Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lembaga Keimaman Nasional ini senantiasa berkerjasama dengan MUI dengan saling bersinergi. Hal tersebut diwujudkan melalui peranan aktif dari semua Tuanku Imam Besar menjadi unsur dalam MUI di setiap tingkatannya, baik daerah, propinsi maupun nasional.

c. Memperkuat program kembali ke surau dan masjid dengan melaksanakan program pendidikan sistem Pesantren Masjid (Pasurauan/The Mosque School) bagi para pelajar SMU dan remaja, Kursus Kepahaman Islam (sejenis Takhashush / Maktab al-Masjid) bagi jamaah masjid/orang dewasa melalui pelaksanaan program pendidikan diploma 2 non gelar dengan sertifikat/ijazah. Program tersebut dilaksanakan di bawah kepemimpinan para Tuanku Imam Besar (sebagai dosen/ direktur program pendidikan masjid) didukung oleh tenaga pengajar lainnya.

d. Menjadikan beberapa daerah propinsi tertentu yang memiliki potensi positif seperti Sumatera Barat (Minangkabau), Riau, Nanggroe Atjeh Darussalam, dan Wilayah Melayu Islam pada umumnya, sebagai daerah percontohan dalam pelaksanaan program pembinaan Masyarakat Muslim Berbasis Masjid (MMBM). Pelaksanaan program ini nantinya dipimpin dan dipandu secara langsung oleh para Tuanku Imam Besar tersebut di tiap-tiap masjid yang telah ditetapkan di masing-masing kecamatan sebagai basisnya. Tentunya dengan dukungan pemerintah dan rakyat setempat, dan dilaksanakan secara bertahap sesuai kemampuan dan kondisi yang ada.

e. Membentuk Badan Kenadziran Indonesia sebagai badan hukum yang secara profesional yang bertugas mengelola harta wakaf dan dana abadi umat muslim Indonesia dengan sistem syari`ah, untuk kepentingan membiayai Lembaga Keimaman dan seluruh kegiatannya, termasuk gaji dan tunjangan para Tuanku Imam Besar, tunjangan keluarga, beasiswa, dana pensiun, tunjangan kesehatan dll (di samping dana yang dapat diperoleh dari APBD dan APBN nantinya).

f. Membentuk Badan Akreditasi Masjid yang akan mengawasi secara syari`ah terhadap masjid-masjid yang ada atau yang akan dibangun, agar bangunannya sesuai dengan aturan syari`at Islam, antara lain pembetulan arah kiblat, pola bangunan agar terhindar dari kesalahan yang merusak pelaksanaan ibadah, tempat dan sarana berwuduk yang benar, sarana pendidikan dan lain-lain.

g. Dengan mempertimbangkan bahwa lembaga-lembaga tersebut di atas (dari huruf a s.d. f) adalah merupakan lembaga strategis Islam, untuk keterpaduan dan kekuatan kepemimpinannya terhadap umat Islam, maka nantinya diharapkan masing-masingnya terikat dalam suatu kesatuan di bawah koordinasi Lembaga Keimaman Nasional.

2. Untuk terlaksananya seluruh program sebagaimana tersebut di atas dibutuhkan upaya sosialisasi melalui penyelenggaraan diskusi panel, seminar-seminar, lokakarya, dan sejenisnya, yang memungkinkan gagasan dan rencana untuk merintis perwujudan hal-hal tersebut di atas itu dapat terlaksana dengan baik.

3. Agar perwujudan hal tersebut dapat terlaksana dimohon kepada Bapak/Buya/Ustadz para Pimpinan: Perguruan Tinggi Islam Negeri/Swasta, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Masid Indonesia (DMI), Pondok Pesantren/Madrasah, Ormas dan Parpol Islam yang ada, baik tingkat Propinsi maupun Nasional. Selain itu juga kepada tokoh-tokoh muslim maupun pribadi tertentu yang memiliki keilmuan terkait, kompetensi dan sumbangan dana untuk mendukung terwujudnya rencana tersebut diatas. Sehingga dengan demikian dapat diupayakan secara bersama-sama terbentuknya komite bersama yang berkerja penuh untuk mewujudkan program tersebut di atas.

4. Gagasan yang tertuang dalam makalah Reaktualisasi dan Revitalisasi Lembaga Keimaman untuk Membentuk Masyarakat Muslim Berbasis Masjid (MMBM) dan Melahirkan Ulama Pemandu Umat Masa Depan (al-Imam) yang ditulis sebagai hasil penelitian Amrizal S. Amri, M.Ag yang didukung oleh Prof. DR. H. Bustanuddin Agus, Lc., M.A dengan tulisan Jamaah Masjid Bagaikan Anak Ayam Kehilangan Induk dipandang oleh peserta seminar sangat cocok dijadikan sebagai rancangan solusi persoalan keumatan yang ada serta sesuai untuk semua daerah, bersifat nasional, bukan hanya untuk kepentingan Sumatera Barat saja, walaupun sebagiannya mencontohkan beberapa sisi dari Sumatera Barat dan Jawa.

5. Demikianlah kami sampaikan kepada Bapak/Buya/Ustadz/Ibu, dengan harapan agar mendapatkan penyelesaian selanjutnya. Bersama ini kami lampirkan makalah yang dibahas dalam seminar tersebut untuk menjadi bahan pertimbangan. Bila diperlukan dan diundang, kami Panitia Khusus Sosialisasi sebagai penanggungjawab tersosialisasinya gagasan tersebut di atas bersedia datang untuk berdiskusi atau memberikan penjelasan kepada pihak yang memerlukan, memberikan perhatian dan berkepentingan.

Demikianlah kami sampaikan kepada Bapak/Ustadz/Ibu/Sdr, perhatian, bantuan, kerjasama dan tanggapan yang diberikan, dan kami tunggu tanggapannya serta kerjasamanya, demikianlah terlebih dahulu kami ucapkan terimakasih.

Wassalam,

Pembina/Penasehat

Penulis

Gagasan Imamah al-Masjid

Prof. Dr.H. Bustanuddin Agus, Lc., M.A. Amrizal S. Amri, M.Ag

I

Ketua Panitia SeminarRamalanardi, S.Th.

Sekretaris Panitia SeminarAniffuddin


.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar