Jumat, 23 Maret 2012

Mewujudkan Kembali Kepeloporan Ranah Minang - Sumatera Barat,
Pada Penggalan Awal Alaf (Millenium) ke Tiga
Melalui Karya Umat Yang Agung dan Abadi,
Dengan Mengawali Pembangunan dan Pembentukan
Lembaga Keimaman Nasional dari Ranah Minang.



PROPOSAL PROJECT ISLAMIC AFFAIR

Tentang

Seminar dan Mudzakarah Khashah/Focus Group Discussion “Peran Penting Sumatera Barat dalam Upaya Mempelopori Reaktualisasi dan Revitalisasi Lembaga Ke-Imaman untuk Pembinaan Masyarakat Muslim Berbasis Masjid (MMBM) dan Melahirkan Ulama Pemandu Umat (Al-Imam) di Indonesia pada Awal Alaf (Millenium) ke Tiga”


A. Dasar Pemikiran, Gagasan, Disain dan Tujuan

1. Gambaran Ideal yang Diharapkan
Umat Islam berkewajiban mengamalkan ajaran Islam secara baik dan benar. Orang Minang melembagakan wujud kesadaran terhadap hal itu dalam falsafah hidup mereka: “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Syara` Mangato Adat Mamakai”. Falsafah adat ini menjadi pedoman hidup orang Minang. Bahkan telah menjadi falsafah hidup bangsa Melayu pada umumnya.
Agama Islam harus diamalkan sesuai dengan sumber dan landasan pokoknya, yakni al-Qur’an dan Sunnah al-Nabawiyah, dengan mempedomani metode yang ditempuh oleh fuqaha’ sahabat (manhaj ijtihad fuqaha’ al-shahabat) sepeninggal Rasulullah SAW, serta metode para ulama mujtahid yang diakui (mu`tabarah) oleh karena mereka itu telah mewarisi metode atau thariqah fuqaha’ shahabat dalam memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam, sehingga Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan benar, menyebar ke seluruh dunia, sampai akhir zaman.
Pengamalan Agama Islam itu mesti menyeluruh (kaffah), meliputi unsur `aqidah tauhid (keyakinan bahwa hanya Allah SWT yang berhak diibadahi), `ubudiyah mahdah (ibadah khusus yang telah ditentukan cara dan bentuknya) dan `ubudiyah ghairu mahdah (perbuatan-perbuatan baik yang tidak ditentukan bentuk dan caranya tetapi dinilai ibadah), akhlaqul karimah (budi pekerti lahir dan batin yang mulia), mu`amalah syar`iyah (hubungan timbal balik dalam kehidupan sosial menurut tuntunan syari`at), taqaddum al-ummah al-Islamiyah fi al-`ulum wa al-tsaqafah (kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan/teknologi), hirasah al-din (pemeliharaan terhadap semua hal ihwal agama Islam) dan siyasah al-dunya (berperan dalam pengaturan urusan dunia, termasuk masalah berbangsa dan bernegara) sesuai kondisi umat dan konstitusi yang berlaku.
Bila hal-hal di atas dapat terealisasikan dengan baik dan benar barulah dapat diharapkan untuk terbentuknya umat terbaik (khairu ummah). Seperti diterangkan dalam al-Qur`an, mereka itu berkarakter pelaksana amar ma`ruf nahyi munkar, beriman kepada Allah SWT. Semuanya bermuara kepada terwujudnya umat terbaik dan negeri yang diridhai dan diberkati oleh Allah SWT.

2. Langkah Strategis Secara Umum
Upaya untuk mencapai kondisi ideal tersebut di atas tentu harus memenuhi syarat-syarat pokok, antara lain ialah: terselenggaranya pendidikan dan pembinaan umat yang intensif dan berkelanjutan (istimrariyat ta`lim wa tarbiyyah al-diniyyah lil mujtama` al-Islamiyah) oleh pihak yang berkompeten untuk itu. Pendidikan itu terlaksana secara merata terhadap umat Islam yang tersebar di berbagai wilayah, mulai dari RT, RW, kelurahan, desa, kecamatan, kota, kabupaten dan propinsi hingga nasional, dengan jumlah keikutsertaan yang sebanyak-banyaknya.
Semua umat Islam secara umum, mulai dari tingkat anak-anak hingga orang dewasa dan manula seharusnya bisa memperoleh pendidikan ilmu agama Islam sesuai dengan standarnya masing-masing, selama hidup mereka, the long life of the Islamic education (al-tarbiyat al-Islamiyah min al-mahdi ila al-lahdi ). Seiring dengan itu, arah dan pola pendidikan agama Islam yang dilaksanakan untuk mereka itu harus jelas. Ada model, tahapan pembelajaran dan kurikulum yang tepat, yang menuju kepada pemuliaan insan sebagai hamba Allah dengan ketaqwaan. Oleh karena itulah umat sangat butuh pembimbing keagamaan/spiritual yang mampu dan memenuhi syarat untuk itu.
Pelaksanaan dari gambaran di atas itu membutuhkan orang-orang yang memiliki ilmu agama Islam yang mendalam (al-`alim fiddin atau al-faqih fiddin) yang mampu mendidik (al-murabbiy) dan mentarbiyah umat dan menjadi imam bagi umat (al-mursyid). Mereka itu secara langsung membina, memimpin hal ihwal keagamaan umat, dan seiring dengan itu, diri mereka sendiripun dapat menjadi teladan bagi umat (uswah shughra/uswatun adna). Inilah yang sangat dibutuhkan umat ke depan yang penuh dengan berbagai tantangan. Jelaslah bahwa hal ini tentu memiliki tingkat urgensi yang tinggi. Umat butuh pembimbing dan keteladanan dalam beragama.
Jika dibandingkan dengan Nabi Muhammad SAW sebagi pribadi teladan agung (uswatun `uzhma/uswatun kubra) maka mereka para imam itu sebagai `ulama pembina umat adalah pribadi teladan tingkat bawahnya (uswatun shugra/uswatun adna) bagi umat. Mereka pantas jadi uswah shugra itu, karena diri mereka telah mampu menjadi pribadi yang mulia dengan jalan meneladani cara hidup pribadi yang agung, Rasulullah Muhammad SAW. Salah satu fungsi keimaman adalah bahwa para imam berfungsi memperjelas kepada umat bagaimana cara meneladani pribadi Rasulullah SAW.
Jika tidak keliru, persoalan ini juga telah disinggung oleh para ulama dan cendikiawan muslim Indonesia dalam hasil keputusan Konferensi Umat Islam Indonesia (KUI) ke V tahun 2010 yang lalu di Jakarta, berkaitan dengan upaya melahirkan kepemimpinan umat yang Islami yang sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Berkaitan dengan hal ini juga, tak salah kalau dikutip penegasan KH. Abdul Wahid Hasyim, Menteri Agama RI pada masa perjuangan kemerdekaan RI dahulu. Ia pernah berkata kepada KH. Saifuddin Zuhri, yang kemudian juga menjadi Menteri Agama RI: “al-muslimuna `ala kharin wa innma dha`fu fil qiyadah” (kaum muslimin ini senantiasa dalam kebaikan, namun kelemahan itu terletak kepada kepemimpinan umat).

3. Dari Mana Sumber Generasi Ulama, Imam Umat?
Dari paparan sebelumnya muncul pertanyaan, dapatkah sosok ulama, para imam pemimpin umat (al-`ulama` al-zu`ama’) seperti itu muncul secara tiba-tiba, tanpa dipersiapkan lebih dahulu secara baik dan tanpa adanya pola jaminan kualitas input, proses, output, benefit dan impactnya. Para alumni atau santri di Pondok Pesantren Salafiyah atau Khalafiyah bahkan Ma`had `Aliy, yang setiap waktu menghafal al-Qur`an, mutunul ahadits, mentelaah ribuan kitab-kitab turats Islamiy, tentu mereka tahu betul betapa sulitnya meniti “jalan sempit” untuk menjadi ulama itu. Jadi tidak mudah begitu saja, apalagi hanya dengan modal membaca al-Qur`an pakai terjemahnya, ditambah buku-buku popular terjemahan yang banyak di pasaran. Kalau begitu barangkali ulama sudah ratusan ribu di Indonesia ini sekarang. Maka jangan bicara kita kelangkaan ulama lagi, sulap saja para sarjana kedokteran jadi fuqaha, insinyur jadi ulama tafsir dan mufassir atau sebagainya.
Mungkinkah sosok ulama pembina umat itu terlahir dari generasi yang berkualitas rendah? Seperti mereka yang masuk ke pesantren dan perguruan tinggi agama Islam karena tidak lulus bersaing masuk ke sekolah atau perguruan tinggi umum? Apakah kelompok jenis ini, yakni orang yang SDMnya berkulitas rendah dan parahnya lagi salah niatnya untuk belajar agama Islam, hanya sekedar pelarian, apa bisa jadi input berkualitas bagi perguruan tinggi Islam?. Padahal di sisi lain untuk menjadi tenaga ahli seperti untuk jadi dokter, harus lulusan SMA jurusan eksakta dan dengan nilai tinggi. Biasanya mereka itu adalah para juara umum atau juara kelas. Begitu juga untuk masuk STPDN, ITB, UI, Akademi Militer dan Akademi Kepolisian, mereka harus punya nilai akademik yang bagus, mental dan fisik yang baik. Lalu untuk calon fuqaha, ulama fi al-din apa bisa sembarangan? Apa bisa para kiyai menyulap anak-anak yang “IQnya rendah” jadi pintar?
Padahal jika kita jujur, dalam kitab Thabaqat al-Ushuliyin, oleh Syekh Prof. Dr. Abdullah Musthafa al-Maraghiy, sangat jelas dipaparkan bahwa ternyata `ulama’ pemimpin umat itu berasal dari orang-orang yang SDMnya unggul, pilihan, bahkan di atas kualitas SDM calon dokter saat ini. Sebab mereka nanti harus memimpin di bidang spiritual, hukum agama dan keagamaan bagi masyarakat luas, termasuk para profesor, doctor, insinyur, jenderal, aparat pemerintah dan pejabat negara.

4. Wilayah Masjid
Wilayah masjid harus diperjelas dan revitalisasi, sehingga umat dapat mengikatkan diri mereka dan keluarga mereka dengannya. Bangunan masjid adalah tempat menghimpun manusia beribadah, shalat dan berdzikir kepada Allah SWT. Masjid sebagai bangunan khusus adalah juga sentral tempat pendidikan umat (al-masjid markaz al-muslimin fi al-`alam). Masjid adalah sarana yang tepat secara syari`at dan sejak awal Islam memang telah disediakan sebagai tempat terbaik untuk membentuk umat utama (khaira ummah). Wilayah masjid adalah himpunan komunitas muslim berbasis masjid di suatu distrik, areal wilayah atau daerah tertentu, yang merupakan basis keumatan Islam. Dan wilayah masjid harus dipimpin dan berada di bawah pembinaan para `ulama’Islam, para imam muslim, tuanku imam besar.
Pembinaan umat Islam yang merata, menyeluruh dan berkelanjutan adalah usaha yang sangat besar semestinya dilaksanakan di wilayah masjid. Mungkinkah program besar, membina jutaan umat Islam yang tersebar di negara ini tempatnya dipusatkan di hotel-hotel mewah, tempat-tempat wisata, atau yang serupa dengannya? Apakah cocok atau cukup hanya melakukan pembinaan umat ini melalui kegiatan insidentil, tabligh akbar sekali setahun, workshop, pelatihan atau apapun sejenisnya, yang sangat terbatas, apalagi jika peserta harus membayar uang pelatihan ratusan ribu hingga jutaan rupiah, hanya untuk beberapa hari pelatihan dan training di hotel-hotel? Jawabannya jelas, tidak cukup!

5. Fungsi-fungsi Ideal Masjid dalam Pendidikan Umat
Pada dasarnya fungsi masjid menurut sunnah adalah lish-shalati wa dzikrillah (untuk tempat melaksanakan shalat dan berdzikir kepada Allah). Namun ada persoalan penting lainnya yang mesti diperhatikan yakni, bagaimana gambaran masjid yang seharusnya. Masjid yang bagaimanakah yang memang dapat berfungsi sebesar-besarnya menjadi tempat beribadah dan pendidikan bagi umat muslim yang banyak itu? Wadah untuk membina dan mentarbiyah umat Islam, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, para orang tua dan termasuk manusia lanjut usia (manula). Membangun masjid secara asal-asalan apalagi dengan niat salah, sering melahirkan permasalahan baru yang tidak relefan dengan kepentingan agama. Apalagi jika tujuannya untuk memecah belah umat, menyuburkan perkembangan aliran sesat, maka masjid itu tentu tergolog masjid dhirar yang pengadaannya dilarang oleh Allah SWT.
Masjid adalah sentral pembinaan dan wadah untuk beribadah terutama bagi orang-orang yang telah dewasa, baik rakyat jelata maupun penguasa negara. Penekanan fungsi masjid sebagai wadah pembinaan untuk orang dewasa mestinya lebih besar dibanding dengan pembinaan bagi anak-anak dan remaja, tanpa mengurangi dosis pendidikan agama Islam yang telah diberikan kepada anak-anak dan remaja mereka selama ini. Pendidikan keagamaan bagi anak-anak dan remaja adalah dengan program revitalisasi Madrasah Diniyah non formal, sesuai dengan PP 55 Tahun 2007 yang diperkaya dengan pembaharuan kurikulum yang tepat dan memenuhi kebutuhan umat dan perkembangannya.
Begitu juga pendidikan agama Islam bagi orang yang berusia lanjut adalah sangat penting diperhatikan. Sebab, semakin lanjut usia seseorang maka dia semakin butuh pendidikan agama (pentarbiyahan) yang intensif, bukan sebaliknya. Bertambah dekat kemungkinan manusia untuk menempuh kematiannya, maka semakin penting baginya mempersiapkan diri untuk itu, agar mereka memperoleh husnul khatimah. Maka program takhashush tarbiyah Islamiyah untuk manula sangat diperlukan. Di manakah tempat terbaik untuk mempersiapkan husnul khatimah bagi para manula kalau bukan di masjid-masjid yang menyediakan pembinaan khusus untuk mereka. Berkaitan dengan hal ini, layanan khusus di masjid harus tersedia juga untuk mereka, dan untuk semua elemen umat yang membutuhkannya. Maka urutan pendalaman ilmu agama harus disediakan untuk orang tua, MDSy (Madrasah Diniyah lisy Syuyukh / lil aba’i wal ummahat, lembaga pendidikan agama bagi kalangan orang tua) di bawah bimbingan para imam al-masjid/murabbiy umat.

6. Masjid Basis Pembangunan Ekonomi Umat
Masjid juga menjadi wadah utama mengentaskan kemiskinan dan membangun ekonomi umat Islam. Sebenarnya pemberdayaan zakat, infaq dan shadaqah harus berbasis masjid, yakni masih dalam kerangka program Masyarakat Muslim Berbasis Masjid. Urusan zakat sebenarnya harus menyatu dengan eksistensi wilayatul masajid.
Bahkan pada awal Islam, di masa Rasulullah SAW, pemungutan zakat dari aghniya’ dan pendistribusiannya kepada mustahiq tidaklah terpisah dengan fungsi keimaman shalat. Rasulullah SAW dahulu pernah mengangkat Imam Mu`adz menjadi al-Imam wal Amir untuk wilayah Yaman (Negara Yaman sekarang). Sebelum pergi, Rasulullah SAW memerintahkan agar Imam Mu`adz mengenalkan masyarakat di sana dengan dua kalimah syahadat, setelah mereka memahami dan mematuhinya maka ajarkan mereka tentang shalat. Setelah mereka memahami dan melaksanakannya maka ajarkan mereka berpuasa, setelah itu beritahukan kepada mereka tentang kewajiban membayar zakat, kemudian beritahukan kewajiban untuk melaksanakan ibadah haji.
Jadi pada awalnya “atur dan pimpinlah shalat umat terlebih dahulu, setelah itu kelola kewajiban zakat mereka”. Artinya, berilah umat terlebih dahulu kunci pintu surga, lalu ajak mereka memperbanyak bekal tabungan untuk surga itu dengan zakat. Sangat penting untuk diperhatikan dan diposisikan bahwa: zakat, infaq dan shadaqah adalah salah satu “pedang” dari pedang-pedangnya dakwah Islamiyah. Zakat diberikan untuk upaya pendekatan ta’lif qulub oleh imam kepada para muallaf atau calon umat Islam. Zakat diberikan untuk mengikat persatuan hati, dan menguatkan ekonomi jamaah masjid. Ketika terlalu banyak pihak yang sangat memperhatikan hal ini, karena potensi dana yang sangat besar, dan dapat dipergunakan menurut kepentingan yang pragmatis, bahkan sebagai instrument politik praktis, maka secara langsung atau tidak langsung bisa jadi urusan zakat tercabut dari wilayah masjid.
Pendistribusian zakat seharusnya beriringan dengan pembangunan syakhshiyah jamaah masjid secara paripurna. Bertambah besar dana zakat terkumpul, seharusnya bertambah besar jemaah masjid diberdayakan, diangkat kesejahteraan mereka, dan dimuliakan kehidupan mereka. Bila masanya tiba, suatu saat tidak ada orang Islam yang tidak tercacat sebagai anggota jamaah dari salah satu masjid. Baik dari yang terkaya hingga yang termiskin. Sehingga masjid melayani solusi kehidupan umat, bukan sebaliknya yang hanya senantiasa meminta dana umat untuk kepentingan selera pengurusnya yang tidak urgen. Menukar keramik lantai yang ketinggalan mode, menukar sound system dengan yang keras dentumannya agar lebih pekak, sehingga orang tua yang jantungan tak sanggup shalat berjamaah di masjid itu, atau hal lain yang tidak penting.

7. Masjid Terakreditasi, Memenuhi Standar Syar`iy, Bukan Masjid “Asal-Asalan”
Pembinaan masjid ditinjau dari segi fisik, bentuk bangunan dan segala bentuk sarana dan fasilitas masjid yang ada, atau yang akan dibuat harus memenuhi standar syari`at Islam, atau hukum terkait dengan masjid. Ada aturan yang mesti ditaati umat Islam. Seperti, mereka dilarang oleh Allah SWT dari membangun masjid di atas kuburan-kuburan siapapun atau di wilayah kuburan, WC umum atau tempat pemandian. Baginda Rasulullah Muhammad SAW telah melarang umatnya membangun masjid dengan menghadap kuburan-kuburan siapapun juga, (lā tushallū ilal qubūri walā tajlisū `alaihā), baik dengan alasan untuk mengkeramatkannya atau alasan lainnya.
Arah mihrab masjid harus diupayakan dengan semaksimal kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada agar dapat menghadap ke arah kiblat dengan benar (Ka`bah, Masjidil Haram atau Kota Makkah). Mengingat bahwa perintah ini bukanlah urusan sepele, karena telah diulang-ulang oleh Allah SWT memerintahkannya dalam rangkaian 9 ayat pada awal juz ke dua, berturut-turut pada surat al-Baqarah, yaitu dari ayat 142 sampai dengan 150. Lalu apakah masih ada orang yang berilmu pengetahuan memadai tentang ajaran agama Islami, berani memandang entengnya? Ini urusan sangat penting, Allah menta`kid perintah (mengulangi perintah untuk menegaskan) kata-kata tentang menghadap ke kiblat. Oleh karena itu urusan agama yang penting ini perlu diatur dengan sebaik-baiknya. Ini adalah salah satu rahasia penting, yang mempengaruhi rasa (ruh dan kejiwaan) kuatnya persatuan umat di masa Rasulullah Muhammad SAW.
Masjid Nabawi di Madinah yang dibuat pada masa Baginda Nabi Muhammad SAW, jika diukur dengan cara modern sekarang ternyata memang tepat menghadap Ka`bah. Rahasianya adalah bahwa proses menentukan arah kiblat masjid termasuk proses yang sangat urgen dan hanya boleh dilakukan oleh tenaga ahli sehingga dapat dijamin kesalahan arah tidak terjadi atau dapat diminimalisir terjadinya salah arah. Bahkan kalau kita baca sejarah, penentuan arah kiblat Masjid Amr bin `Ash di Mesir, dilakukan oleh satu tim yang tidak kurang anggotanya 80 orang para shahabat yang `alim, faqih fiddin, yang hadir bersama Gubernur Mesir, Amru bin `Ash. Jadi ini bukan urusan spele.
Masalahnya ialah masih ada terjadi di tengah masyarakat, proses penentuan arah kiblat tidak dilakukan oleh tenaga ahli khusus yang memang mempunyai keilmuan dalam ilmu falak dan astronomi. Bahkan ada juga yang asal tunjuk arah, (takok uwok) yang penting ke arah barat tempat matahari terbenam. Padahal Ka`bah atau Kota Makkah bukan di arah baratnya Pulau Sumatera. Namun Alhamdulillah, sekarang, telah dipopulerkan penggunaan teknologi Ilahi (menggunakan petunjuk saat matahari berada tepat di atas Ka`bah/ Rusydul Ka`bah/Rusydul Qiblah) yang terjadi dua kali setahun. Sehingga dapat dipastikan semua benda yang tegak lurus di atas permukaan bumi, garis bayangannya saat itu menghadap kota Makkah, Masjidil Haram dan Ka`bah.
Kemestian untuk mengupayakan semaksimal kemampuan dan dengan dukungan ilmu pengetahuan agar dapat menetapkan arah kiblat dari tempat tertentu benar-benar sangat penting. Kalangan fuqaha mazhab Maliki dan al-Syafi`iy menegaskan bahwa orang yang telah melakukan shalat dan baru mengetahui bahwa arah kiblat yang ditujunya adalah salah, dan ada arah lain yang benar maka orang itu wajib mengulangi shalat itu kembali.
Mihrab masjid, tempat imam memimpin shalat berjamaah, adalah menjadi pedoman ke mana arah kiblat yang harus diikuti, dan arah mihrabnya itu dapat tampak dari luar bangunan masjid. Sehingga arah mihrab atau arah bangunan masjid itu sendiri juga menjadi pedoman bagi semua orang yang berada di luar masjid sebagai arah kiblat yang benar, yang seharusnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah. Siapa saja yang secara sembrono dan tanpa ilmu yang cukup menetapkan arah kiblat, karena memandang ini persoalan remeh-temeh dan tidak memandang hal itu penting, sehingga ketika umat melaksanakan shalat di masjid itu salah arah kiblat mereka, maka dipastikan dia menanggung dosa karena rusaknya atau batalnya shalat orang banyak. Selama arah yang dipatoknya secara sembrono itu dijadikan arah shalat oleh orang lain yang tidak tahu mana arah kiblat yang benar, maka si pematok arah kiblat yang salah itulah yang menanggung batal dan rusaknya shalat orang. Sedangkan orang yang shalat itu sendiri, sepanjang tidak tahu kesalahan arah kiblat itu maka shalatnya tetap sah untuk dirinya. Begitulah yang seharusnya diketahui, sehingga tidak berani-berani saja orang tak berkompeten menentukan arah kiblat masjid.
Masjid harus jauh dari lokasi yang menjadi tempat orang-orang melakukan maksiat. Masjid tidak boleh terletak di tempat-tempat yang bersuara bising yang dipastikan dapat menggangu ketenangan shalat. Selain itu masjid harus memiliki sarana tempat bersuci dan berwuduk yang memenuhi standar dan beberapa sarana lainnya. Jangan sampai ruang shalat menyatu dengan WC, sehingga bau busuk WC menyengat di ruang shalat, atau orang shalat berjamaah menghadap ke arah orang yang sedang buang air besar walaupun dibatasi satu lapis dinding. Para malaikat tidak suka dengan bau busuk, apalagi berasal dari buangan kotoran dan najis. Sedapat mungkin hal-hal jelek seperti itu harus dihindari.
Mihrab masjid seharusnya bersih dari adanya kamar-kamar tempat tidur, apalagi jika kamar itu selalu kotor. Seharusnya suasana mihrab masjid menggambarkan suasana bersihnya masjid untuk urusan “upacara ritual yang agung bagi umat manusia”, shalat berjamaah. Dan masih ada beberapa pembicaraan lagi yang sangat terkait dengan pemuliaan masjid yang semestinya dipenuhi oleh bangunan yang secara sengaja diperuntukkan menjadi masjid. Kebiasaan pembangunan masjid yang menempatkan kamar petugas menyatu dengan mihrab perlu dikritisi dan diakhiri. Kamar petugas masjid seharusnya di bagian paling belakang shaf shalat, atau paling baik terpisah dari bangunan masjid.
Berdasarkan hal tersebut dan ketentuan syari`at lainnya, maka diperlukan adanya program akreditasi masjid yang diselenggarakan secara terus menerus oleh sebuah badan khusus yang berkompetensi untuk itu. Badan tersebut sekaligus berfungsi untuk melayani perancangan, perencanaan pembanguan masjid secara benar dan dengan memperhitungan lokasi yang strategis, demi kepentingan pembinaan umat Islam ke depan. Lebih lanjut persoalan ini dapat ditelaah dari berbagi kitab antara lain seperti: al-Jāmi’ li Ahkām al-Shalāt, yang ditulis oleh Syekh Mahmud `Abdullathif `Uwaidhah, dan berbagai kitab-kitab turast Islami lainnya.

8. Peran Ulama Tempatan, Para Imam dalam Melindungi dan Membentengi Umat
Di akhir zaman ini seiring dengan kelemahan kepemimpinan `ulama’/fuqaha’, lahirlah oknum-oknum pemanfaat “status kosong” ini. Mereka mencoba tampil sebagai pemimpin kelompok umat dengan berbagai ajaran yang menyimpang yang dibuat sedemikian rupa sehingga mengundang daya tarik dan merekapun dapat mempengaruhi sebagian orang, yang kebetulan kurang atau tipis sekali kapasitas ilmu agamanya.
Suburnya berbagai aliran sesat dan sempalan yang menjerumuskan sebagian umat muslim terutama kaum mudanya yang tidak paham dengan Islam, ke dalam gerakan menyimpang dan aliran sesat sangat mengkhawatirkan dan secepatnya perlu diantisipasi dengan menggunakan metode yang tepat dan pola yang strategis. Gerakan sesat itu bentuknya bermacam–macam, baik gerakan sesat yang bersifat keagamaan atau kesesatan cara hidup akibat pengaruh budaya Barat yang jahiliyah. Hal itu terjadi disebabkan oleh ketidakterdidikan dan tidak terbimbingnya mereka, generasi muslim, dengan baik dan benar secara intensif oleh orang-orang yang tepat, yang berkompetensi untuk itu.
Aliran yang sangat radikal tanpa pertimbangan yang matang menimbulkan gerakan pengacau dan terorisme harus dihindarkan dari umat Islam. Mudahnya sebagian orang terpancing untuk melakukan tindakan sangat radikal merugikan kepentingan umat Islam secara menyeluruh adalah karena tidak memiliki kesabaran dalam mensosialisasikan ajaran Islam dan berjuang yang sebenarnya. Bahkan kalangan ini secara tidak sadar masuk dalam perangkap “pancingan pihak tertentu” untuk kemudian terberanggus secara menyedihkan. Dan hal itu membuat buruk citra pendidikan, dakwah Islam dan dunia pesantren di tanah air, yang terimbas dengan adanya gerakan teroris yang mengatas namakan ajaran jihad. Satu yang berbuat, semuanya kena getahnya. Di sinilah peranan Imam Besar Masjid untuk menuntun jamaah/umat dengan baik agar jangan sampai terjebak dengan berbagai kekeliruan dalam memahami Islam.
Selain hal di atas, dapat diperhatikan bahwa pada umumnya, sebagian besar umat muslim di berbagai daerah di tanah air saat ini bagaikan anak ayam kehilangan induk, berpencar ke mana-mana tanpa penjagaan. Bagaikan kelas tak punya guru, sehingga murid-murid kebingunan tidak dapat belajar dan tak tahu apa yang harus mereka kerjakan. Kebutuhan umat muslim kepada pemimpin kegamaan (spritual leader) yang jelas dan kredibel, yang banyak mencurahkan kemampuan dan ilmu mereka untuk mendidik dan membimbing umat sangat mendesak dan mutlak diperlukan.
Rasulullah SAW telah secara tegas menekankan pentingnya hal ini dalam sunnah beliau. Bahkan bila beberapa orang muslim bermusafir walaupun hanya dalam jumlah tiga orang saja, mereka diperintahkan oleh beliau untuk mengangkat salah seorang dari mereka sebagai imam shalat “iddza ijtama`a tsalatsatu nafarin minkum fal ya’ummahum aktsara hum qur’anan wa in kana ashghara hum”, artinya: jika ada tiga orang melakukan perjalanan jauh maka hendaklah salah seorang menjadi imam shalat, yakni yang paling banyak menguasai al-Qur’an walaupun umurnya lebih muda dari yang lain. Lalu ditegaskan beliau lagi dalam hadis itu “ man ya’ummuhum fa huwa amiru hum” jika seseorang diangkat menjadi imam shalat mereka, maka dialah yang menjadi amir (pemimpin) mereka.
Walaupun ada beberapa perbedaan pembahasan ulama fiqih dalam hal ini, namun sebagai upaya membuat langkah strategis untuk pembinaan umat dengan pola dan system yang lebih kuat dan kokoh maka perlu ijtihad bersama untuk memilih hal-hal yang terbaik. Tataran khilafiyah adalah wacana ilmiyah para fuqaha’ atau para ahli. Sedangkan tataran strategis adalah keputusan untuk mengambil yang terbaik dan paling bermanfaat dengan dasar logis melalui perbandingan bentuk wacana yang satu dengan wacana yang lainnya. Pola pikir yang berasal dari pemikiran strategis kadang tidak selalu seiring dengan pola pikir orang-orang ahli yang sekedar pewacana ilmiyah semata.
Demikianlah gambaran betapa Rasulullah SAW menaruh perhatian besar dalam persoalan kepemimpinan umat ini. Kriteria yang diberikan oleh beliau tersebut bertujuan agar kepemimpinan umat jangan sampai dijabat oleh orang-orang yang salah, karena hal itu pasti dapat merugikan Islam dan umatnya. Umat ini dibangun oleh Nabi Muhammad SAW dibantu oleh para sahabat beliau dengan pengorbanan yang amat banyak, harus dijaga dengan sebaik-baiknya.
Beranjak dari hal-hal tersebut di atas, perlu dilakukan upaya konkrit untuk menata dan membina umat muslim ini, dan diselenggarakan oleh pihak yang berkompetensi, dengan menjadikan masjid sebagai basis pembangunan umat muslim dari berbagai segi. Sehingga terwujud masyarkat muslim berbasis masjid (MMBM), yakni masyakat yang tertata secara rapi, terdidik secara intensif dengan Islam, memiliki kesatuan dan persaudaraan mulai dari tingkat sesama unsur jamaah pada satu masjid hingga tingkat lebih luas. Dalam hal ini peranan kepemimpinan imam fungsional mutlak diperlukan. Masyarakat berbasis masjid ini sekaligus sebagai ujung tombak komunitas pencinta dan pengamal syari`at Islam secara baik. Inilah jalan sebagai cikal bakal umat terbaik (kuntum khaira ummah) di masa sekarang dan akan datang.

9. Kriteria Imam Besar
Imam yang dimaksud dalam tulisan ini, bukanlah orang yang sekedar pandai menjadi imam shalat karena memiliki suara yang merdu, menguasi ilmu tajwid dan hafal ayat yang banyak, tetapi lebih dari itu ialah bahwa imam mestilah seorang yang faqih, alim, wara, zuhud serta mempunyai jiwa kepemimpinan. Para tuanku imam besar adalah orang-orang yang dipilih, dididik dan diangkat secara formal sebagai pejabat Imam Besar, dengan kompetensi, kredibilitas kepribadian, keilmuan, keulamaan, kewenangan, tugas, hak, kewajiban dan tanggungjawab tertentu, berdasarkan ajaran Islam.
Sosok seperti itu hanya akan dapat dihasilkan melalui gemblengan pendidikan khusus keimaman yang diakui dan disegani oleh segenap pihak. Para imam itu harus berasal dari pribadi-pribadi yang berkualitas, cerdas, dididik dengan program unggul, sehingga layak menjadi pemimpin umat di masa datang. Merekalah nantinya akan menjadi Tuanku Imam Besar, sekaligus mufti dan murabbiy di tengah umat. Mengingat kualitas yang disyaratkan bagi imam besar ini cukup tinggi, maka rekrutmennya, penyaringan, pendidikan dan penempatannya harus dilaksanakan dengan pola dan standar tertentu. Pendidikan imam harus berkualitas dengan standar internasional. Calon peserta pendidikan imam besar harus SDM yang unggul. Jika tidak demikian maka program ini akan sia-sia.
Profil Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amarullah (Buya HAMKA) ketika menjadi Imam Besar Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Jakarta, menjadi acuan untuk profil imam besar yang akan disistematiskan menurut usulan proposal ini, selain tentunya profil para imam muslim yang lainnya. Beliau membina umat, jamaah masjid dengan pola yang paripurna. Pola itulah yang hendak dikembangkan, direaktualisasi, direvitalisasi dan disitematiskan secara terlembaga mulai dari tingkat terendah hingga nasional, termasuk lembaga pendidik dan pencetak calon imam besar itu sendiri. Sehingga kemudian semua unsur pengadaan dan pembinaan imam besar itu terhimpun dalam sebuah lembaga besar yakni yang dinamakan dengan Lembaga Keimaman Nasional dengan segala unsur dan komponennya.
Sehubungan dengan telah adanya organisasi keulamaan seperti Majelis Ulama Indonesia mulai dari tingkat kecamatan hingga nasional, maka para tuanku imam besar diharapkan sebagai bahagian aktif dari unsur yang ada Majelis Ulama Indonesia tersebut. Bahkan pada masa setelah 25 tahun ke depan barangkali karena tingginya kompetensi dan kuatnya pengaruh tuanku imam besar di tengah umat, maka setiap Ketua MUI secara ex officio dijabat oleh para Tuanku Imam Besar, di masing-masing tingkat, mulai di kecamatan hingga nasional.

10. Lembaga Pendidikan Tinggi Khusus Imam Besar (Ma`had `Aliy al-Khashah li Tarbiyyat A’immah al-Indunisiya)
Upaya melahirkan SDM yang berkualitas unggul untuk menjadi imam umat, membutuhkan jenjang pendidikan khusus. Sebagaimana kalau dibandingkan dengan jenis pendidikan perwira di militer. Para perwira adalah lulusan pendidikan dengan standar tertentu yang hanya dapat diikuti oleh orang-orang yang memenuhi syarat. Demikian juga bagi para imam besar, pendidikan khusus itu menjadi sangat penting karena mereka yang nantinya diangkat dan dikukuhkan sebagai tuanku imam besar, harus memiliki kompetensi yang memadai sebagai ulama dan pemimpin umat, mulai dari tingkat kecamatan hingga nasional.
Para imam besar itu hendaknya adalah lulusan pendidikan pascasarjana, doctor paling kurang untuk satu bidang pokok keilmuan Islam yakni ilmu syari`ah. Dan imam besar dapat menambah keahliannya di bidang tafsir dan hadis, pendidikan Islam dan lainnya. Imam besar harus seorang yang bagus kemampuannya dalam membaca al-Qur’an, hafizh al-Qur’an, menguasai ilmu alat dan bahasa Arab, serta satu atau lebih bahasa asing lainnya, baik pasif maupun aktif.
Sebagai pemimpin mereka juga harus dilengkapi dengan penguasaan terhadap keilmuan penunjang lainnya seperti ilmu tarbiyah/pendidikan, kepemimpinan, manajemen, dakwah, hukum, sejarah, sosial, politik, ekonomi, bahasa asing lain, dan lain-lain yang setara dengan S1 atau diploma. Memiliki banyak pengetahuan, atau lebih dari satu jenis kesarjanaan bagi imam adalah sebuah kemestian, dan tidaklah aneh jika dilihat dalam sejarah hidup para imam muslim dunia di masa keemasan umat Islam dunia. Imam itu hidupnya memang selalu mengajar, belajar, mendidik dan terdidik sepanjang hayatnya. Imam adalah pelaksana dan pelaku pendidikan seumur hidup.
Berdasarkan uraian di atas maka kurikulum khusus pada Ma`had pendidikan Imam Besar disusun sedemikian rupa, sehingga mampu menjawab target yang dituju. Para imam menjalani jenjang pendidikan tinggi yang tanpa dibatasi. Seorang Imam Besar pada akhirnya paling kurang memiliki gelar akademik doctor (S3) dalam ilmu syari`ah, dan kemampuan paling kurang setara S1 atau diploma untuk ilmu rumpun penunjang selain itu. Dengan demikian prinsip pendidikan imam besar ialah mampu menuntaskan pendidikan sampai jenjang akademik tertinggi untuk keahlian pokok, dan dapat menambah kesarjaaan untuk keahlian penujang.

11. Lembaga Besar Kenadziran Wakaf Sebagai Pendana Internal Lembaga Keimaman Nasional
Pertanyaan penting yang selalu muncul adalah, siapa yang akan menjamin kehidupan para imam besar? Instrumen yang tersedia dalam Islam adalah lembaga zakat dan lembaga wakaf. Dua inilah yang menjadi sumber pendanaan kegiatan Lembaga Keimaman Nasional nantinya, di samping anggaran dari pemerintah dan swasta. Mengacu kepada pengalaman al-Azhar di Mesir maka dimungkinkan untuk membangun lembaga kenadziran wakaf, supra nadzir, yang mengelola harta wakaf dari Sabang hingga Merauke untuk lembaga keimaman.
Sistem manajemen modern memungkinkan untuk itu, dan lembaga ini akan menyerap tenaga kerja dalam jumlah cukup banyak. Produktifitas harta wakaf oleh lembaga kenadziran akbar, dikelola dengan sitem perusahan modern. Modal dasar lahan wakaf, ada pemegang saham, ada pola sinkronisasi antara pemberdayaan zakat produktif dengan harta wakaf, sehingga menghasilkan keuntungan makismal untuk mengerakkan Lembaga Keimaman Nasional. Mengingat jumlah para imam besar di Indonesia dibutuhkan nantinya akan sampai pada jumlah 6500 orang lebih, maka pendanaan dari anggaran negara juga diperlukan. Dengan rasio perhitungannya bahwa pada setiap kecamatan yang ada KUA, maka di kecamatan itu harus ada Tuanku Imam Besar dan Tuanku Imam Besar Naib (wakil tuanku imam besar).
Negara, dalam hal ini semua lembaganya yang terkait, terutama lembaga legislative dan eksekutif, bahkan yudikatif, mesti memberikan pemulian terhadap Lembaga Keimaman Nasional sebagai lembaga guru bangsa, pembina umat muslim, mayoritas rakyat Indonesia untuk menjadi pribadi yang taat beragama dan patuh hukum, serta setia kepada bangsa dan negara. Sehingga membiayai Lembaga Keimaman Nasional adalah mutlak termasuk kewajiban negara, yang harus dianggarkan dalam APBN dan APBD.

12. Peranan Penting Lembaga Pondok Pesantren Salafiyah, Khalafiyah dan Pesantren Sistem Kombinasi untuk Menyiapkan Kader Peserta Pendidikan Tinggi Untuk Menjadi Imam Besar
Pondok pesantren pada umumnya didirikan oleh para ulama, kiyai, buya, teungku, tuanku, tuan guru dan ustadz dengan dasar semangat keikhlasan dan kemandirian. Pondok Pesantren, baik yang menggunakan sistem salafiyah, khalafiyah dan sistem kombinasi, adalah lembaga pendidikan yang sangat urgen peranannya dalam mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam di Nusantara. Pondok Pesantren telah berperan tidak saja untuk mendidik calon fuqaha’ (tafaqquh fiddin), tetapi juga melahirkan para memimpin umat. Pesantren, selain sebagai pusat pelaksanaan ibadah (ada masjidnya) dan pusat pendidikan agama Islam, juga pusat melahirkan kader ulama, muballigh, guru agama, imam dan pemimpin masyarakat. Hal itu telah berlangsung berabad-abad.
Masyarakat Islam, khususnya yang berada di wilayah sekitar pondok pesantren sangat merasakan peranan pondok pesantren dalam memajukan umat. Pembinaan itu tidak hanya untuk pendidikan keagamaan tetapi juga persatuan dan kesatuan bangsa. Sejarah telah menjadi saksi bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia ini dari bangsa kolonial penjajah Belanda, adalah juga saham dari kepeloporan perjuangan kalangan surau/pondok pesantren. Perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia ini dahulu sangat diwarnai dengan semangat jihad fi sabilillah. Ini terjadi karena peranan nyata dari para ulama, teungku, tuangku, tuanku, kiyai, tuan guru, imam, dan para ustadz memimpin umat menentang penjajahan Belanda yang dipandang sebagai bangsa kafir. Melepaskan diri dari penjajahan bangsa kafir adalah wajib dan merupakan jihad fi sabilillah. Tidak ada yang mampu melakukan itu kecuali kalangan pondok pesantren/surau/meunasah/madrasah dan masjid.
Memperhatikan eksistensi pondok pesantren/madrasah, sebagai lembaga pendidikan agama Islam tersebut, maka peranan pondok pesantren untuk melahirkan calon maha santri yang akan dididik dalam program Ma`had `Aliy Khusus Pendidikan Imam Besar sangat dirasakan penting. Alumni pondok pesantren yang berkualitas dan memenuhi syarat dipilih untuk dididik sebagi calon imam besar, calon pemimpin umat ke depan. Ini suatu pandangan yang punya dasar yang kuat dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Adapun regulasi yang terkait dengan Ma`had `Aliy ini antara lain ialah: Keputusan Menteri Agama RI, Nomor 284 Tahun 2001, Tentang Ma`had `Aliy.
Demikianlah sekilas latar belakang gagasan yang terdapat dalam proposal ini untuk dimudzakarahkan dan diseminarkan hingga mendapatkan jalan penyelesaiannya. Untuk itu Lembaga Ar-Rasikhuna Padang-Sumatera Barat, dengan Akta Notaris Nomor: 113/30-06-2011, bermaksud mengadakan Seminar dan Mudzakarah Khashah/Focus Group Discussion
Tentang
“Peran Penting Sumatera Barat dalam Upaya Mempelopori Reaktualisasi dan Revitalisasi Lembaga Ke-Imaman untuk Pembinaan Masyarakat Muslim Berbasis Masjid (MMBM) dan Melahirkan Ulama Pemandu Umat (Al-Imam) di Indonesia pada Awal Alaf (Millenium) ke Tiga”


Seminar dan Mudzakarah Khashah/Focus Group Discussion ini dilaksanakan pada tanggal 25 Pebruari 2012, di Aula Kanwil Kementerian Agama Propinsi Sumatera Barat, adalah sebagai langkah awal, dan akan ditindaklanjuti dengan langkah-langkah berikutnya yang lebih besar lagi.

Lembaga Keimaman Nasional

http://azamazkhacoid.blogspot.com/2010/02/kepemimpinan-umat-islam-masa-depan.html
Minggu, 07 Februari 2010
Kepemimpinan Umat Islam Masa Depan
Tuanku Imam Agung Nasional (al-Imam al-A`zham) dan Tuanku Wakil Imam Agung:
►Berasal dari Tuanku Imam Besar Utama, Doktor dalam Ilmu Syari`ah, Tafsir atau Hadis, Hafizh 30 Juz, Faqih/menguasai Fikih Empat Mazhab Besar, memenuhi kompetensi sebagai Mufti Negara/mujtahid muda dan dengan semua persyaratan lainnya.
►Dipilih sebagai Tuanku Imam Agung Nasional /Wakilnya berdasarkan hasil pemilihan dengan suara terbanyak dalam Majelis Syura Dewan Tuanku Imam Besar Nasional.
►Aktif dalam pembinaan MUI Pusat dan Membina Hubungan Baik dengan seluruh Ormas Islam Nasional, Internasional, Parpol Islam/Nasionalis Agamis dan organisasi yang berpengaruh lainnya untuk kebaikan dan kemaslahatan umat.
►Pantas/berpotensi mengemban tugas menjadi pemimpin Negara bila diperlukan/dibutuhkan

Tuanku Imam Besar Utama Propinsi
Satu Untuk Tiap Tingkat Propinsi
Paling kurang Doktor dalam Ilmu Syari`ah, Tafsir atau Hadis, Hafizh 30 Juz, Faqih, memenuhi semua persyaratan lainnya, telah dikukuhkan sebagai Tuanku Imam Besar Utama. Sebelumnya telah menjadi Tuanku Imam Besar Madya paling kurang 10 Tahun,
Aktif dalam pembinaan dan kegiatan MUI Propinsi

Tuanku Imam Besar Madya Kabupaten/Kota
Paling kurang satu untuk tiap tingkat Kota/Kabupaten dan paling banyak lima orang.
Doktor atau Magister dalam Ilmu Syari`ah, Tafsir atau Hadis, paling kurang Hafizh 26 Juz, memenuhi semua syarat dan telah dikukuhkan sebagai Tuanku Imam Besar Madya.
Sebelumnya telah menjadi Tuanku Imam Madya Selama Paling Kurang 10 tahun.
Aktif dalam MUI Kecamatan/Kota/Kabupaten

Tuanku Imam Besar Pertama
Paling Kurang Satu Orang Untuk Tiap Kecamatan dan paling banyak lima orang.
Sekurang-kurangnya adalah Magister dalam Ilmu Syari`ah, Tafsir atau Hadis, Hafizh 21 juz (paling kurang ), memenuhi semua syarat, dan telah dikukuhkan sebagai Tuanku Imam Besar Pertama
Bertugas Membina langsung para imam masjid/mushalla di Kecamatan tersebut dengan suatu program terpadu, Aktif dalam MUI Kecamatan/Kota/Kabupaten

Penempatan Seluruh
Tuanku Imam Besar (tanpa kecuali: mulai dari Tuanku Imam Besar Pertama hingga Tuanku Imam Agung, hanya Khusus pada Masjid Terakreditasi, untuk Pelaksanaan Program
MMBM dan Kursus Kepahaman Islam (Jamaah Tetap yang terdaftar dan masyarakat yang proaktif) serta seluruh misi Lembaga Keimaman Nasional.
Tingkat jabatan keimaman hanyalah untuk menentukan jenjang kepemimpinan dan keorganisasian (tanzhim), tidak menghilangkan tugas pokok sebagai imam shalat, khathib dan murabbiy

Tugas Rutin/Pokok Imam Besar (Tuanku Imam)
Tuanku Imam melaksanakan amal mauquta (terjadwal)
►Program Rutin Bimbingan: Syari`ah, Ibadah, Akhlaq dan Tarbiyyah Ruhiyyah dan Riadhah/Mujahadah.
►Kursus Kepahaman Islam yang Setara dengan Program Diploma 1 dan 2 untuk tingkat dewasa
►Pesantren Masjid (Pasurauan/ The Mosque School) untuk tingkat siswa Madrasah Aliyah/Mahasiswa PT. Umum/Agama, dll.

a)
Pembinaan
Para Imam Masjid /Mushalla
Biasa, yang belum memenuhi syarat akreditasi(Imam Muda)
b)
Pembinaan Kelompok Khusus dari Masyarakat Muslim Berbasis Masjid untuk tingkat pemuka/pimpinan

Semua Mengarahkan Misi Dakwah kepada:
Masyarakat Islam dan Jamaah Masjid dalam Berbagai Lefel
yang dalam Pendekatan Dakwah harus diklasifikasikan guna penerapan formula tarbiyyah yang tepat dan bermanfaat.

Ketentuan Umum:
Tugas, hak dan tanggung jawab para Tuanku Imam, hubungan kerja dan kepemimpinan antara para Tuanku Imam secara Nasional dan Badan Khas yang menjadi bahagian dari Lembaga Keimaman ini ditetapkan dalam Qanun Lembaga Keimaman Nasional
Diposkan oleh azamazkha.blogspot.com di 02:18