Sabtu, 06 Februari 2010

Reaktualisasi dan Revitalisasi Lembaga Keimaman untuk Pembinaan Masyarakat Muslim Berbasis Masjid dan Melahirkan Ulama Pemandu Umat

Fiqh al-Imamah al-Sunniyah

Sebuah Gagasan Tentang

Reaktualisasi dan Revitalisasi Lembaga Keimaman

untuk Pembinaan Masyarakat Muslim Berbasis Masjid

dan Melahirkan Ulama Pemandu Umat

oleh:

Amrizal S. Amri, M.Ag.

Bagian I

Gambaran Ideal dan Permasalahannya

A. Pendahuluan

Masyarakat muslim harus mampu secara bersama-sama melaksanakan aturan dan ajaran agama Islam dengan baik, menurut pedoman yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Oleh karena itu seharusnya umat muslim memiliki ikatan persaudaraan, persatuan yang kuat, dan mempunyai lembaga yang melaksanakan fungsi kepemimpinan (imamah) atas mereka. Pemimpin sebagai pelaksana tugas keimaman[1] harus dapat berfungsi dengan baik dan maksimal menurut semestinya, bukan sekedar gelar atau jabatan yang kosong dan hampa fungsi. Dalam Islam pemimpin harus menunaikan kewajibannya sebagai rā`in[2] (pelindung, pemandu dan pelayan) bagi orang-orang yang dipimpinnya.

Pemimpin dalam Islam berkewajiban membawa orang-orang yang dipimpinnya (umat) kepada ketaqwaan untuk memperoleh keridhaan Allah SWT.[3] Dia harus senantiasa bersama-sama dengan umat yang dipimpinnya menempuh jalan yang benar menurut syari`at Islam berdasarkan contoh dari Rasulullah SAW (sunah). Pemimpin harus memahami dan melanjutkan misi utama kerasulan Nabi Muhammad SAW; mendidik umat manusia agar berakhlak mulia (baik kepada Allah SWT, terhadap diri mereka sendiri, terhadap sesama makhluk hidup dan alam).

Akhlak yang mulia[4] (utama) secara umum berarti bahwa seseorang hanya melakukan hal-hal yang diakui memang baik (ihsan)[5], mulia (karimah) atau terpuji (mahmuda) sebagai wujud atas kesadaran dirinya kepada kebenaran ilahiyah (al-fitrah atau al-hanif)[6], yang terefleksi[7] dalam amaliah zahir dan batin, didasari dengan pengetahuan tentang kebenaran itu serta keyakinan atasnya, dan berbuat semata-mata didorong oleh keikhlasannya kepada Allah SWT.[8]

Melahirkan pribadi-pribadi berakhlak mulia inilah yang menjadi agenda utama dari misi Rasulullah SAW. Sebagian dari ciri khas masyarakat yang berakhlak mulia itu ialah taat kepada hukum dan berani menegakkan kebenaran demi keimanannya kepada Allah SWT, walaupun nyawanya sendiri sebagai taruhannya. Namun bersamaan dengan itu bersikap lemah-lembut dan sopan-santun dalam segala tindakan adalah bahagian yang tak terpisahkan dari kepribadian mereka.

Seiring dengan berkembangnya jumlah individu yang berakhlak mulia, akan terjadi pembentukan masyarakat yang berakhlak mulia pula (masyarakat utama). Bila sebagian besar masyarakat sudah berakhlak mulia, negeri akan menjadi aman dan damai, kesejahteraan akan lebih mudah diwujudkan.[9] Masyarakat yang demikian tentu akan memiliki keunggulan sehingga terwujudlah “wilayah komunitas utama” (al-madinah al-fadhilah). Masyarakat yang unggul ini tentu juga merupakan masyarakat berbudaya tinggi atau masyarakat madaniy (al-mujtama` al-madaniyah). Inilah sebenarnya cikal bakal untuk terwujudnya negara yang berkualitas yang penuh dengan segala kebaikan (baldatun thayyibatun), didukung dengan mayoritas warga negara yang mampu menghindarkan diri dari perbuatan dosa, sehingga mereka diampuni oleh Allah SWT (wa rabbun ghafur).[10]

Membentuk masyarakat muslim yang utama seperti diuraikan di atas, hanya dapat terlaksana dengan mengacu kepada syari`at Islam, berdasarkan tiga rukun (pokok) atau pilar utama yang saling bersinergi positif, yaitu:

1. Terpenuhinya standar syari`at beraqidah tauhid yang sahih dan konsekwensinya.

2. Terpenuhinya standar syari`at pengamalan hukum (minhaj) secara benar dan kaffah.

3. Terpenuhinya standar syari`at berkepribadian yang shaleh dan berakhlak mulia.

Tiga pilar utama tersebut tidak mungkin akan berfungsi secara baik jika tidak didorong oleh semangat yang tinggi dari dalam diri seseorang untuk menjadi hamba yang terbaik di sisi Allah SWT (mujahadah). Daya mujahadah atau yang disebut juga dengan jihad[11], dibutuhkan oleh seseorang terutama untuk dirinya sendiri, guna membangun kualitas nafsiyah (jasmani dan ruh), qalbiyah (hati) dan `aqliyah (akal)nya. Setelah itu barulah ia patut menggunakannya dalam rangka hubungannya dengan orang lain seperti, untuk mengajak mereka ke jalan ketaqwaan (dakwah). Dengan demikian dapat ditegaskan, bahwa pribadi yang seharusnya lahir (dalam rangka meneruskan risalah Nabi Muhammad SAW) ialah orang-orang yang berakidah sahih, teguh memegang hukum, berakhlak mulia dan bersemangat tinggi untuk beramal.

Pribadi atau masyarakat yang berkriteria seperti di atas hanya dapat dilahirkan jika telah terlaksananya dakwah (al-da`wah ila Allah)[12], pendidikan yang lengkap dan adil antara aspek duniawi dan ukhrawi (al-tarbiyyah al-syamilah wa al-muwazanah), dilakukan dengan program yang jelas dan tepat (bi al-tanzhim) dan metode yang benar (`ala al-manhaj al-sahih) serta berkesinambungan sepanjang hidup seseorang (al-istimrariyah atau min al-mahd il al-lahd).[13]

1. Urgensi Pemimpin Pendidik Umat

Gambaran yang ideal masyarakat utama di atas tentu tidak dapat terwujud tanpa keberadaan dan berfungsinya pemimpin yang sekaligus pendidik (al-murabbiy), berilmu, berpengalaman dan memiliki kematangan jiwa. Pemimpin ini mengajar dan mengarahkan orang yang dididiknya dengan cara yang mencerdaskan dan ihsan, berperan sebagai pengajak (al-da`i) atau penyeru ke jalan Allah SWT, serta patut pula untuk dicontoh (al-Imam). Oleh karena itu dia bukan sekedar menginformasikan teori keilmuan; wacana para pakar, dan bukan pula sekedar mengharapkan gaji; imbalan dari aktifitas mengajarnya.[14] Dia adalah pemimpin dan pendidik umat, matang lahir dan batin.

Pendidik yang baik mestilah orang yang mencintai kehidupan yang shalih dan ikhlash mencontoh Rasulullah SAW[15] dan para sahabat beliau. Sekurang-kurangnya ia sedang berusaha melaksanakannya. Ia juga harus berilmu yang mencukupi tentang Islam (al-`alim atau faqih fi al-din)[16] dan mampu meyampaikan kebenaran Islam kepada orang lain dengan sabar (al-haq wa al-shabr)[17]. Dia memiliki rasa tanggung jawab moral kepada umat (habl min al-nas) dan spritual kepada Allah SWT (habl min Allah)[18]. Rasa tanggung jawab tersebut harus ada dalam segala aktifitas dakwah dan pendidikan yang dilaksanakannya.[19]

2. Jalan untuk Munculnya Pemimpin

Pendidik yang sekaligus da`i dan pejuang (mujahid da`wah) seperti gambaran di atas dapat terlahir antara lain melalui tiga cara.

Pertama: melalui pengalaman panjang sebagai seorang guru agama (da`i) dalam medan perjuangan dan dakwah, sehingga dia menjadi da`i yang legendaris dan berkharisma. Sosok seperti ini terealisasi pada diri para sahabat Rasulullah SAW, dan generasi-generasi sesudahnya (al-Tabi`in, Tabi` al-Tabi`in dst.).

Contoh pemimpin umat yang dekat dengan sejarah umat muslim di Sumatera Barat ialah seperti Syekh Burhanuddin Ulakan. Generasi setelah itu ialah para da`i pejuang: Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo Agam, H. Jalaluddin, Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang, Tuanku Nan Renceh dari Kamang, Tuanku Lubuk Awua dari Canduang, Tuanku Barapi dari Pasia, Tuanku Biaro, Tuanku Kapau, Tuanku Padang Lua, Tuanku Ladang Laweh, Tuanku Galuang dan Tuanku Mansiangan (mereka kerap disebut sebagai dewan Harimau Nan Salapan), Tuanku Tuo di Cangkiang, Tuanku Lintau, Tuanku Buo, Tuanku Tambusai dan Tuanku Imam Bonjol pemimpin Kaum Mujahidin Paderi, dll.[20] Sedangkan di Pulau Jawa dikenal pula para wali yang sembilan (Wali Songo) sebagai pengembang dakwah Islam.

Misi dakwah Islamiyah tersebut kemudian dilanjutkan oleh generasi para ulama pendidik seperti: Syekh Imam Ahmad Khathib al-Minangkabawiy (satu-satunya orang Indonesia yang pernah menjadi imam Masjidil Haram[21], dan menjadi guru bagi para pelajar dari Indonesia di Makkah di akhir abad ke 19 dan awal abad 20 M.). Dilanjutkan oleh generasi berikutnya seperti: Syekh Abdul Karim Amrullah (Inyiak DR), Syekh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek), Syekh Muhammad Djamil Jambek (Inyiak Jambek), Syekh Abdullah Abbas dan Syekh Musthafa (di Padang Jopang), Syekh Muhammad Thaib Umar (di Sungayang), Ustadz Zainuddin Labai el-Yunusi, Syaikhah Rang Kayo Rahmah el-Yunusiyah, Ungku Mudo Abdul Hamid Hakim (di Padang Panjang), Dr. Abdullah Ahmad (di Padang), Syekh Sulaiman Ar Rasuli (Inyiak Canduang), dan para ulama pendidik dan pejuang lainnya.[22] Sedangkan di Pulau Jawa dikenal KH. Ahmad Dahlan (pendiri Pesyarikatan Muhammadiyah), KH. Hasyim Asy`ariy (pendiri NU) dll. Setelah itu generasi berikutnya secara berurutan seperti Prof. H. Mahmud Yunus, Buya AR. Sutan Mansur, Buya Hamka, Pak Natsir (Dr. H. Muhammad Natsir), Buya H. Harun al-Ma`ani, Buya H.M.D. Dt. Palimo Kayo, Buya H. Malik Ahmad, Buya Mawardi Muhammad, dll.

Ke-dua: melalui pendidikan formal atau perguruan tinggi Islam, seperti al-Azhar di Kairo, Universitas Islam di Timur Tengah lainnya atau IAIN dan yang sejenisnya. Di antara mereka tersebut ada yang dinilai memenuhi syarat dan punya prestasi akademik yang menonjol, sehingga diberikan kesempatan luas untuk berperan menjadi pendidik di perguruan tinggi yang ada. Seiring dengan tugas-tugas yang mereka emban, merekapun dapat berupaya untuk meningkatkan kualitas SDM mereka. Di antara mereka ini, selain yang berperang terbatas sebagai tenaga pengajar semata, ada pula yang terikat hatinya untuk memperjuangkan Islam dan menggeluti dunia dakwah, untuk melayani kepentingan umat muslim. Mereka tidak diragukan lagi adalah ulama yang berperan mencerdaskan umat ini.

Para ulama yang termasuk kalangan ini cukup banyak, seperti para ulama yang mengajar di perguruan tinggi baik negeri maupun swasta (dosen) dan para kiyai, ustadz-ustadzah (guru) terkemuka di berbagai madrasah dan pondok pesantren. Pada umumnya mereka adalah orang-orang yang cerdas, mempunyai kepribadian yang baik dan tulus, bersungguh-sungguh dalam mendalami ilmu agama dan mengajarkannya kepada umat muslim di sekitarnya. Sebagai contoh, mereka itu antara lain ialah: Prof. Dr. H. Quraish Shihab, M.A.[23], K.H. Dr. Ahzami Sami`un Jazuli, M.A.[24], Dr. H. Hidayat Nur Wahid, M.A.[25], K.H. Dr. Didin Hafiduddin, M.Sc.,[26] dll.

Ke-tiga: melalui cara pendekatan mandiri, pengalaman khusus, kesadaran personal dan potensi spritual yang terus-menerus diasah oleh seseorang, diiringgi dengan kegigihannya menimba ilmu agama Islam dan selalu konsekwen dengan dakwah yang dilakukannya. Walaupun yang bersangkutan bukan alumni perguruan tinggi agama Islam, namun mereka dapat diterima umat sebagai pendakwah yang didengarkan uraian-uraiannya. Seperti, KH. Ir. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dengan program Manajemen Qalbu, Muhammad Arifin Ilham dengan program Majelis Dzikir (Adz-Dzikra) dan Ary Ginandjar dengan program ESQ.[27]

Dari ketiga bentuk yang diuraikan, (tanpa menafikan adanya kemungkinan lain yang sejenisnya) tentang bentuk motiv yang mendorong atas munculnya para pendakwah (pemimpin pendidik) tersebut di atas, namun patut disadari oleh siapapun juga bahwa pada akhirnya hanya para pelayanan dakwah yang mampu menyentuh akal, budi dan hatilah yang akan banyak diminati dan diikuti oleh masyarakat. Alasannya sangat jelas, yakni karena pendakwah itu dapat memberikan pengaruh besar dan arahan positif kepada jiwa mereka yang didakwahi (al-mad`u ila Allah) untuk berubah menjadi lebih baik dari kondisi mereka sebelumnya (ila al-maghfirah min Allah wa ishlah al-hayat).

Sedangkan mereka yang hanya berkiprah semata-mata hanya pada tataran transfer ilmu agama atau hanya menjadi penyaji ceramah dan pidato yang miskin dari unsur dakwah yang sebenarnya, hampa dari unsur bimbingan akhlak mulia yang menyentuh qalbu (tarbiyyah ruhiyyah), aktifitas mereka itu pada akhirnya dipandang sebagai seruan-seruan kering, tidak dapat memberikan sentuhan rasa, membosankan dan cenderung kurang dipercaya.[28] Pada akhirnya mereka akan ditinggalkan oleh para jema’ah. Orang akan mencari figur yang baru yang lebih memikat berpidato, lebih lucu yang bisa memingkal-pingkal para pendengarnya hingga sakit perut. Begitulah hasilnya jika dakwah itu dipahami sebagai pidato ke sana, pidato ke situ, lalu pulang membawa amplop yang berisi uang.

Selain defenisi teknis yang diberikan para ahli untuknya, dakwah sebenarnya ialah aktifitas seorang mukmin yang berilmu tentang syari`at Allah SWT dan meyakininya sebagai kewajiban yang harus ditegakkan agar memberikan kemaslahatan yang besar bagi umat manusia di dunia dan di akhirat, dan dengan berdakwah itu sekaligus dia membuktikan kepada Allah SWT bahwa dirinya benar-benar hamba-Nya yang setia dan teguh berjuang untuk menegakkan syari`at-Nya yang mulia. Jadi dakwah Islamiyah yang sebenarnya, sebagaimana yang terkandung dalam amar nash al-Qur’an itu, bukanlah acara jual beli antara pembicara dan pendengar atau penonton, bukan pula sayembara lelucon anak-anak muda untuk merebut hadiah kecakapan berpidato. Oleh karena itu sangat penting disadari oleh semua pihak bahwa dakwah Islamiyah tidak dapat disamakan dengan aktifitas seni peran (sandiwara), pidato politik atau seperti iklan produk dagang di televisi. Dakwah itu adalah bagian dari jihad fi sabilillah, harus berdasarkan ketaqwaan yang sebenarnya dari para hamba kepada Allah SWT. Selain itu dakwah Islamiyah adalah upaya konsolidasi umat yang berjalan terus menerus, agar seluruh elemen umat ini senantiasa tetap memiliki komitmen yang kuat terhadap Allah SWT, Islam dan Rasulullah SAW. Seiring dengan hal itu umat muslimpun wajib menyadari bahwa tetap berjalannya misi dakwah itu juga menjadi sebuah kewajiban bagi mereka, dan ia menunut peranan semua elemen umat ini sesuai dengan kompetensi dan kemampuan yang dimiliki masing-masing orang.

3. Jalan yang Dapat Digunakan untuk Melahirkan Pemimpin Pendidik

Setelah mencermati selintas uraian di atas, disadari bahwa umat muslim di manapun mereka berada butuh kepada keteraturan, persatuan dan kepemimpinan. Hal itu disebabkan oleh karena setiap muslim yang baik tentu menyadari sepenuhnya tanggung jawab dan peranannya di dunia sebagai pelaksana misi Islamisasi kehidupan umat manusia (li islamiyat al-hayah al- insaniyah) yang sering disebut dengan fungsi kekhalifahan. Fungsi ini tidak akan berjalan jika mereka lemah, terpecah belah, dan tidak memiliki pemimpin yang sebenarnya. Pemimpin yang telah dipolakan oleh petunjuk syari`at Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah al-Nabawiyyah.

Dengan berpedoman kepada dua sumber syari`at Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah tersebut, diikuti dengan mengambil pelajaran kepada sejarah umat muslim yang telah berlalu, dari beberapa generasi yang dapat dipedomani, maka dapat diambil beberapa sari pelajaran untuk dijadikan pola bagi menumbuhkan keteraturan dan kepemimpinan umat muslim di masa sekarang dan akan datang. Dari tiga pola yang disampaikan di atas yang diambil dari berepa kondisi umum umat muslim dalam sejarah, sedang naik, mendatar dan mundur, lalu diperhatikan masa sekarang (dengan konteks kekinian) maka salah satunya dapat dijadikan pola untuk melahirkan pemimpin tersebut. Sekarang penjajahan wilayah oleh bangsa asing sudah dilenyapkan dari bumi Indonesia yang mayoritas muslim ini. Kedamaian masyarakat relatif cukup terjamin, pemerintah dan negara memberikan suasana kondusif bagi perkembangan pengamalan ajaran agama dan pelaksanaan ibadahnya. Untuk itu jalan yang ke-dua di atas (melalui pendidikan dan memfungsikan orang-orang yang terdidik itu dengan maksimal) adalah jalan yang tepat untuk dijadikan sebagai pilihan.[29]

Sosok seperti ulama dan da`i yang digambarkan di atas tersebut yang menjadi harapan dari konsep reaktualisasi dan revitalisasi fungsi imam masjid. Sekaligus mereka para imam masjid tersebut diharapkan menjadi ulama di masa depan, tentunya setelah melewati masa yang panjang, yang tantangannya tak kalah berat dibanding perjuangan dakwah ulama terdahulu. Sedangkan jalan yang ke-tiga, tidak dapat diprogramkan dengan pendidikan tertentu, karena ia muncul dari keadaan khusus yang dialami oleh orang tertentu saja, yang berujung kepada keberhasilannya dalam menempa diri. Demikian juga dengan jalan yang pertama; gambaran para pendidik dan pejuang dakwah Islamiyah yang hidup dan besar dalam tempaan perjuangan yang cukup berat. Ditambah adanya dorongan akibat tekanan penjajahan bangsa asing (kolonial Belanda) dan misi kristenisasinya ketika itu.

Konsep jalan yang ke-dua di atas, bila diterapkan, -- dengan dukungan segala pihak tentu akan menjawab keinginan umat muslim di Minangkabau untuk kembali ke masjid (yang dipopulerkan dengan ungkapan “kembali ke surau”[30]), sekaligus akan terpenuhi kebutuhan masyarakat atas keberadaan ulama yang dapat secara langsung membimbing dan melayani kebutuhan ibadah dan spiritual umat muslim di masjid-masjid. Berdasarkan gambaran dan uraian di atas maka disusunlah gagasan dalam bentuk makalah dengan judul:

Sebuah Gagasan Tentang Reaktualisasi dan Revitalisasi Lembaga Keimaman untuk Pembinaan Masyarakat Muslim Berbasis Masjid dan Melahirkan Ulama Pemandu Umat (al-Imam)

B. Pengertian Judul

Reaktualisasi artinya mengaktualkan kembali (menjadikannya kembali terealisasi, kembali nyata dan terwujud) seperti semula.

Revitalisasi artinya menjadikannya kembali berperan dan dengan memperkuat unsur-unsur yang akan membuatnya menjadi lebih berperan besar.

Lembaga yaitu sesuatu yang berdiri sebagai bagian yang penting dari sistem tatanan kehidupan masyarakat, budaya, agama, pemerintahan dan negara, yang mempunyai hak-hak dan kewajiban serta dilindungi secara hukum.

Imam ialah orang yang dikedepankan untuk diikuti, berfungsi sebagai pemimpin, pembimbing dan contoh bagi orang lain yang mengikutinya[31]. Sedangkan Imam masjid yang dimaksud dalam tulisan ini lebih spesifik, ialah orang-orang dengan kriteria tertentu, yang diangkat dan dikukuhkan dalam jabatan tuanku imam oleh lembaga keimaman nasional[32] Dan sanggup melaksanakan kewajiban memimpin jamaah masjid, dan tugas keimaman lainnya, berpenampilan terbaik dan khas yang memudahkan dia mudah dikenali oleh umat muslim.[33]

Lembaga Keimaman ialah lembaga yang dibentuk secara hukum oleh Majelis Ulama Indonesia dengan dukungan masyarakat muslim dan pemerintah, yang berfungsi untuk mengurus segala hal ihwal keimaman; baik sebagai penyelenggara, penyiapan keberadaan para imam atau segala usaha yang menjadi bagian kegiatan para imam, semenjak dari awal perencanaan seleksi calon, penyelenggaraan pendidikan dan pelaksanaan tugas, termasuk mengusahakan penjaminan biaya hidup dan kesejahteraan para imam (gaji bulanan, tunjangan dan dana pensiun mereka).

Masjid ialah tempat beribadahnya umat muslim yang memenuhi syarat hukum, seperti; ia adalah harta wakaf (baik tempat atau bangunannya), tempat dilaksanakannya shalat jum`at dan didirikan karena Allah SWT. Masjid terdiri dari masjid yang dibangun pemerintah, para pewakaf tunggal/tertentu atau hasil gotong-royong umat muslim di suatu wilayah pemukiman. Sedangkan masjid yang dimaksud dalam konsep ini ialah masjid yang memenuhi syarat hukum di atas dan terakreditasi dengan nilai baik atau lebih. Untuk itu ada beberapa hal yang mesti dipenuhinya.

Pembinaan Masyarakat Muslim Berbasis Masjid, ialah kegiatan yang dilaksanakan oleh para imam-imam masjid dan timnya, sebagai upaya untuk meningkatkan taraf pendidikan dan bimbingan keagamaan kepada seluruh jama`ah masjid atau anggota masyarakat yang berada disekitar masjid atau yang berdomisili ditempat lain yang ikut serta sebagai anggota jama`ah tetap masjid itu. Pembinaan tersebut diprogram dengan baik, menggunakan kurikulum tertentu, tujuan yang jelas dan berkelanjutan, dengan evaluasi yang jelas dan problem solving yang tepat. Dengan demikian muncul sebuah komunitas masyarakat muslim yang hidup mereka berbasis masjid, yang dimulai dari masing-masing individu dan keluarga.

Lahirnya ulama pelayan umat maksudnya ialah munculnya orang-orang yang berpengetahuan yang mendalam (al-`alim atau al-faqih fi al-din) dan ahli tentang agama Islam, konsekwen dengan ajaran Islam dan berakhlak mulia. Pelayan umat ialah, ulama yang kehidupannya terus-menerus dikhidmahkan untuk melayani umat muslim dengan mengajarkan Islam dan memberikan bimbingan kerohanian kepada mereka dalam rangka mendapatkan keridhaan Allah SWT semata.

Para imam masjid yang tergambar dalam konsep ini diharapkan di kemudian hari akan menjadi ulama panutan umat.Tentunya setelah mereka menjalani penempaan yang panjang. Berupa peningkatan kualitas pribadi dan pengabdiannya kepada Allah SWT melalui jalan dakwah yang diembannya bertahun-tahun tanpa henti. Atas perjuangannya membina umat itu tentu telah banyak yang dapat diperbuatnya untuk Islam dan umatnya. Atas dasar itulah nantinya masyarakat menghormati mereka sebagai pemimpin dalam urusan agama.[34] Hal ini berarti, kalau dahulu para ulama lahir lebih dominan atas ikhtiar pribadi masing-masing lalu memperoleh dukungan dari masyarakat buykan sebagai sistem. Di masa depan ulama yang berfungsi sebagai pemimpin itu dapat dilahirkan dengan suatu sistem yang terpadu yakni melalui jalur pendidikan khusus, penempaan kepribadian dan pemberian amanah untuk memimpin jamaah masjid serta membina kawasan masyarakat muslim berbasis masjid. Dalam sejarah umat musilim, dapat diketahui bahwa para ulama pemandu umat memang terlahir dari masjid-masjid yang mereka pimpin. Tentunya setelah terlebih dahulu bersusah payah membina jama`ah dan umat. Bukan dengan mencukupkan kegiatan hanya mengajar para pelajar di madrasah atau perguruan tinggi agama Islam saja. Sebab, ulama bukan diukur hanya pada tingkat penguasaan ilmu dan amaliah pribadi, tetapi juga faktor kepemimpinan umat dan kemampuan serta aktivitas sebagai penerus perjuangan dakwah para nabi dan rasul (al-waratsah).

C. Gambaran Ringkas Masyarakat Muslim Berbasis Masjid (MMBM)

Melihat kepada sejarah pembentukan umat muslim, semenjak periode dakwah Rasulullah SAW di Madinah, pembangunan masjid dilakukan paling awal dari kegiatan lainnya. Hal ini menunjukkan sangat pentingnya masjid bagi misi kerisalahan Nabi Muhammad SAW dalam mempersiapkan lahirnya umat terbaik (khaira ummah).[35] Karakter masyarakat muslim khaira ummah ditandai dengan kualitas iman, terlaksanannya amar ma`ruf dan nahyi mungkar dalam arti luas.[36]

Harapan besar yang hendak dituju dari seluruh program lembaga keimaman ini ialah membentuk komunitas masyarakat muslim berbasis masjid, sekaligus sebagai upaya untuk melahirkan sosok pribadi yang dapat menjadi ulama pemandu umat di masa depan. Secara teori hal ini dipandang memungkinkan dengan pertimbangan sebagai mana berikut ini. Adanya modal dasar seperti masjid-masjid yang terakreditasi, imam masjid dan timnya yang giat setiap saat memberikan layanan dan bimbingan, baik dalam dakwah fardiyah atau umum, dan lingkungan yang mendukung terciptanya suasana damai, hidup yang berakhlak baik terhadap diri sendiri apalagi terhadap orang lain. Masyarakat yang sebagian besar paham dengan dasar-dasar Islam --sehingga tidak mudah ditipu atau diasut oleh berbagai paham yang menyimpang-- dan mampu membaca al-Qur’an serta taat beribadah dan berakhlak baik.

Pola yang diharapkan untuk menumbuhkan masyarakat berbasis masjid ini ialah, pentarbiyahan[37] yang teratur dan berkesinambungan. Pendidikan pribadi anggota jamaah masjid. Upaya sungguh-sungguh dari masing-masing anggota jamaah masjid yang telah terdidik untuk membangun rumah tangga yang Islami, sakinah, mawaddah dan rahmah. Sehingga terwujudlah keluarga muslim yang melahirkan generasi yang berkualitas dunia dan akhirat. Walaupun tidak semudah dibayangkan di atas kertas, namun jika dilakukan dengan sungguh-sungguh secara bersama-sama, insya Allah tentu tercapai, bantuan Allah tentu akan datang jua. Tidak selesai lima tahun, ya sepuluh tahun, dua puluh tahun, begitulah seterusnya yang penting ada usaha konkrit ke arah itu. Sesuai kaidah fikih: “Ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh” (hal yang tidak dapat dicapai secara sempurna jangan ditinggalkan seluruhnya, maksudnya bagian yang dapat dicapai harus diambil untuk modal mencapai yang berikutnya hingga akhirnya dapat menuju kesempurnaan).[38]

Bila masyarakat sudah baik, yang diwujudkan dengan baiknya individu dan keluarga serta hubungan bertetangga (baiknya hablun minannas), maka keinginan untuk hidup berbangsa yang diredhai Allah SWT, yaitu kehidupan yang aman damai, taat syari`at dan hukum serta berakhlak mulia akan terwujud secara bertahap. Seiring dengan itu diharapkan gerakan-gerakan sempalan, arus penyesatan, gelombang pemurtadan, penipuan atas nama agama tertentu, keputusasaan yang membangkitkan anarkhisme dan terorisme pada sebagian orang, secepatnya dapat dilenyapkan terutama dari kalangan masyarakat muslim.

Lebih dari itu semua sebenarnya ada sesuatu yang juga paling diharapkan untuk terwujud ialah bahwa para tuanku imam tersebut kelak benar-benar menjadi ulama panutan umat, kalaupun tidak seluruhnya. Lebih-lebih lagi jika ada yang mencapai maqam awlia’ullah. Orang-orang yang do`anya senantiasa diijabah oleh Allah SWT. Al-du`a silah al-mu`minin. Insya Allah.

D. Masjid bagi Umat Muslim dari Masa ke Masa

Umat muslim tidak akan dapat terwujud tanpa adanya masjid di wilayah tempat tinggal mereka. Pada waktu Rasulullah SAW hijrah dari Makkah ke Yastrib (kemudian bernama al-Madinah al-Munawwarah) yang pertama kali beliau lakukan ialah membangun masjid.[39] Masjid berfungsi sebagai pusat kegiatan ibadah (shalat, dzikir, pendidikan, dan lain-lain). Juga untuk mempererat ikatan hukum, sosial dan budaya antara umat muslim.

Pentingnya masjid[40] sebagai sentral dan wadah pokok umat Islam tidak perlu dipertanyakan lagi. Hanya yang penting bagaimana menjadikan masjid yang telah ada dapat berperan maksimal sesuai dengan sunnah Rasululah SAW. Dan menyelamatkannya dari penggunaan yang tidak benar atau bertentangan dengan syari`at Islam.[41] Fungsi masjid yang sesungguhnya tersebut tidak akan terwujud hanya dengan mengandalkan bangunannya semata. Bangunan masjid, bagaimanapun indah dan sempurnanya hanya sebatas sarana semata. Kalau tidak ada tokoh yang memiliki kompetensi sebagai imam, orang yang shalih, cerdas, dan mampu memimpin jamaah masjid, maka masjid akan menjadi tugu monumen. Kalaupun orang berkunjung ke masjid itu tentu tak lebih dari sekedar singgah menumpang shalat, atau melihat keindahan bangunannya, itupun kalau bangunannya memang indah dan punya sarana yang mahal. Apakah itu yang dituju dalam pembangunan masjid? Jelas tidak. Nabi Muhammad SAW membangun masjid hanya dengan bata yang direkat lumpur tanah liat sebagai semennya. Sangat sederhana untuk ukuran sekarang. Tetapi masjid Nabawi itu pusat pembinaan masyarakat berbasis masjid. Karena ada yang bertindak sebagai tokoh pembinanya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Tugas itulah yang harusnya dilanjutkan oleh ulama (al-ulama al-waratsah) setelah beliau.

Masjid yang benar seharusnya memenuhi standar-standar syari`at. Untuk itu perlu akreditasi masjid.[42] Akreditasi ini antara lain meliputi; arah kiblat yang benar, berdiri di atas tanah wakaf, memiliki fasilitas penunjang pokok: tempat berwuduk, buang air,[43] bersuci, penyediaan air yang cukup, dan tempat pembuangannya. Juga harus ditunjang oleh fasilitas kebersihan dan segala peralatannya, ruang shalat yang baik. Masjid terjauh dari: suasana bising dan hiruk-pikuk (seperti terminal bus, pasar, atau tempat-tempat yang mengeluarkan suara bising terus-menerus lainnya), suasana yang tidak kondusif untuk kegiatan beribadah seperti berdekatan dengan diskotik atau tempat maksiat (kecuali tempat itu digusur). Tidak terletak di atas kuburan dan bukan berdekatan dengan kuburan umum. Tidak berdekatan dengan tempat yang mengeluarkan bau busuk seperti tempat timbunan sampah, pabrik karet, atau bau menyengat seperti pabrik minyak goreng dan lainnya.[44]

Perlu adanya pembagian tugas dan kewenangan, fungsi dan tanggung jawab antara pengurus masjid sebagai pengelola sarana dan fasilitas bangunan dengan pelaksana tugas kepemimpinan peribadatan, dakwah, pendidikan, dan imam jama`ah. Dalam hal ini tuanku imam adalah orang yang ditugaskan pemerintah (ulil amri) melalui lembaga keimaman untuk melaksanakan tugas dan fungsi imam di suatu masjid yang terakreditasi dengan nilai baik atau lebih.[45] Para tuanku imam bertanggung jawab kepada Lembaga Tinggi Keimaman Nasional menurut ketentuan yang ditetapkan. Untuk memperlancar tugasnya para tuanku imam bekerjasama dengan pengurus masjid yang notabenenya membidangi pengadaan sarana prasarana dan pembangunan. Pengurus masjid penanggungjawab prasarana, pemeliharaan, keamanan dan pembangunan seharusnya juga mendapat pengawasan dari lembaga tertentu. Lembaga tersebut bertugas untuk melakukan pemeriksaan atas kelayakan pembangunan dan akuntabilitas keuangan masjid, dll.[46]

E. Identifikasi Beberapa Masalah Utama

1. Masjid hanya boleh dibangun di atas dasar ketaqwaan. Umat Islam memiliki keharusan untuk menfungsikan masjid secara maksimal menurut sunnah Rasulullah SAW (`imarah); sebagai sentral tempat ibadah mereka terutama shalat berjamaah lima waktu maktubah dan jum`at serta kegiatan ibadah lainnya; kemasyarakatan dan dakwah Islamiyah. Dalam banyak kasus, masjid ternyata tidak berfungsi sesuai dengan ajaran sunah Rasulullah SAW, bahkan ada yang hanya dibangun menjadi monumen tanpa fungsi dan kegiatan yang seharusnya, padahal secara fisik pembangunannya menelan biaya yang amat besar dan memiliki keindahan arsitektur modern. Secara fisik, bangunan masjid harus memenuhi standar syari`at. Untuk itu perlu adanya pembuktian dengan cara penilaian akreditasi masjid. Masjid harus memiliki arah kiblat yang benar. Rasulullah SAW melarang pembangunan masjid di atas kuburan. Masjid harus berjauhan dari tempat-tempat kotor dan hiruk pikuk, dll.[47]

2. Ibadah shalat adalah ibadah paling utama bagi umat muslim, pelaksanaan shalat berjamaah di masjid membutuhkan imam yang berkompeten, namun banyak masjid tidak memilikinya. Setiap masjid yang menyelenggarakan jum`at (masjid jami`) yang telah memenuhi syarat terakreditasi harus mempunyai imam tetap, yang dijabat oleh orang yang berkompeten untuk itu. Imam hendaknya diangkat secara resmi (seperti oleh lembaga keimaman nasional yang diberi kewenangan oleh pemerintah untuk itu). Dalam kenyataan hampir seluruh masjid tidak mempunyai imam tetap yang berkompeten. Padahal jabatan imam shalat (adalah al-imamah al-shughra) sebenarnya masih bahagian dari kewenangan pemimpin negara atau ulil amri (khalifah/amir). Kalau pemimpin negara yang ada, yang dipilih rakyat, tidak berkompeten dengan syarat-syarat keimaman, maka dia dapat atau seharusnya mendelegasikan keimaman tersebut kepada orang-orang yang berkompeten untuk itu, atau dengan menunjuk lembaga khusus dan ahli untuk melaksanakan segala hal yang berkaitan dengan keimaman tersebut. Kebanyakannya tugas imam shalat dilaksanakan oleh para petugas pembersih masjid, atau yang lebih baik dari itu jika dilaksanaan oleh para mahasiswa PT. Islam yang mondok di masjid menjadi garin. Parahnya lagi kepemimpinan shalat ini dianggap hal yang remeh temeh. Di beberapa masjid atau bahkan mushalla imam shalat dilaksanakan oleh anggota masyarakat yang awam dan ternyata banyak yang tidak mampu membaca al-Qur’an dengan benar. Kemungkinannya hal ini disebabkan tidak pernahnya mereka mengikuti pelatihan yang memenuhi standar untuk menjadi imam. Kenyataan ini sebenarnya bagian dari perbuatan “melalaikan dan meremehkan shalat” (alladzina `an shalatihim sahun).[48]

3. Banyaknya timbul perasaan cemas dari sebagian umat muslim tentang langkanya para ulama pada masa dewasa ini. Sosok seorang ulama yang didambakan masyarakat pada umumnya adalah para kiyai atau ustadz yang secara langsung terjun membina jama`ah umat muslim di masjid-masjid. Sedangkan para profesional tenaga pengajar di perguruan tinggi semata, walaupun punya penguasaan ilmu yang mendalam, namun tidak aktif terjun ke tengah medan dakwah kurang dipandang sebagai ulama.[49] Karena umumnya masyarakat berpendirian bahwa sosok seorang ulama itu ialah orang yang mewarisi tugas nabi-nabi yaitu membina umat dengan ilmu yang ada padanya.[50] Dasar untuk melakukan akreditasi masjid adalah nash-nash yang mengatur tentang masjid. Seperti firman Allah yang menetapkan asas taqwa sebagai dasar kebijakan pembangunan masjid, bukan bertujuan memecah belah umat (dhirar) seperti yang pernah dilakukan oleh kalangan munafik.

Bagian II

Langkah Strategis dan Realisasi

F. Beberapa Bentuk Jalan Keluar

1. Bahwa perlunya segera melakukan akreditasi masjid-masjid dan melakukan pembinaan terhadap pengurus yang membidangi pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana masjid. Sehingga bangunan masjid memenuhi standar syari`ah, relefan untuk program pembentukan masyarakat muslim berbasis masjid. Agar masjid tertentu dapat dilengkapi dengan menyediakan rumah kediaman tuanku imam, ruangan kelas dan asrama yang memadai (untuk program pesantren masjid/pasurauan). Dengan adanya sistem akreditasi tersebut masjid-masjid atau mushalla akan dapat dibina menurut tingkatan akreditasi yang dimilikinya. Dan akan diperbaiki keadaannya jika ternyata belum atau tidak memenuhi standar syari`at. Akreditasi masjid harus dilakukan oleh suatu badan yang berwenang yang terdiri dari para ahli yang berkompeten dalam bidangnya.

2. Imam masjid[51] seharusnya orang-orang yang terpilih, penghafal al-Qur’an (hafizh), berpengetahuan yang mendalam tentang agama Islam (al-faqih atau paling tidak al-mutafaqqih fi al-din), mampu mendidik dan menggiatkan dakwah Islamiyah, memenuhi syarat dan mampu menjadi pemimpin bagi jama`ah dalam kegiatan ibadah, serta cerdas dalam melakukan langkah-langkah dakwah yang relefan dengan perkembangan dan tantangan zaman. Dengan demikian para imam tersebut layak dikukuhkan sebagai Tuanku Imam.[52] Fungsi tuanku imam tersebut bukan sekedar memimpin shalat berjamaah semata, tetapi lebih dari itu yakni memimpin jamaah dan masyarakat muslim yang berdomisili di sekitar wilayah masjid tempatnya bertugas. Pola ini adalah penjabaran dan aktualisasi dari kandungan surat (9) al-Taubah ayat 122, dan beberapa nash lainnya.

Untuk itu para tuanku imam harus memiliki kriteria sekurang-kurangnya sbb:

a). Bahwa orang-orang yang diangkat dan dikukuhkan menjadi tuanku imam tersebut mempunyai kompetensi keilmuan, sekurang-kurangnya tamatan program pasca sarjana S.2 dalam bidang agama Islam dalam konsentrasi syari`ah, tafsir atau hadis. Bahkan bila memenuhi syarat mereka dapat melanjutkan pendidikan S.3, khusus untuk meningkatakan kompetensi keimaman dengan mendalami bidang konsentrasi syari`ah dan tafsir-hadis. Mereka dibantu dengan dana beasiswa untuk itu. Sehingga nantinya mereka akan setara dengan para dosen di perguruan tinggi, bahkan mungkin memiliki kelebihan tertentu.[53]

b). Hafizh al-Qur’an minimal dari juz 1 sampai juz 10 (untuk pengukuhan sebagai tuanku imam muda), juz 1 hingga juz 20 untuk tuanku imam madya, dan hafizh 30 juz untuk tuanku imam besar. Khusus juz ke 30 telah dihafal sebelum mengikuti pendidikan keimaman, sebagai salah satu syarat pendaftaran.

c). Hidup para tuanku imam masjid tersebut, sesuai dengan janjinya --sebagai syarat dikukuhkan sebagai tuanku imam--, selama hidupnya akan digunakannya semata-mata untuk melayani kepentingan ibadah, dakwah dan peningkatan pemahaman umat terhadap agama Islam.[54]

d). Para tuanku imam melaksanakan pelayanan (kurang lebih) 10 sampai 12 jam setiap harinya kepada masyarakat, tanpa memandang tingkat sosial mereka, sebagaimana yang diterakan pada tugas-tugas rutinnya.[55]

e). Para tuanku imam adalah orang-orang yang terpilih, dipandang cakap untuk menjadi ulama pemimpin umat di masa depan. Mereka sedang dipersiapkan untuk tujuan tersebut melalui pendidikan, penugasan dan jaminan finasial yang memadai[56] bagi kebutuhan hidup dan keluarga mereka.

Melihat kriteria di atas tidaklah berlebihan untuk berharap bahwa suatu saat mereka akan diakui sebagai ulama dan pembina umat. Hal tersebut dapat dicapai tentu setelah mereka melewati masa yang panjang dalam pembinaan diri dan keilmuan, serta dapat membuktikan pengabdian mereka yang besar di medan dakwah Islamiyah dan senantiasa berakhlak mulia dan berhati bersih seakan memancarkan wanginya kasturi, dan konsekwen berjalan di jalur thariqat Rasulillah SAW wa fuqaha’ al-shahabah. Dengan demikian tuanku imam dihormati oleh umat menurut sepatutnya, juga sebagai buah dari ketekunan mereka dalam melaksanakan tugas sebagai penyambung misi para Nabi (al-`ulama’ waratsat al-anbiya’). Mereka bukanlah seperti orang yang berilmu tinggi namun berakhlak buruk dan cinta dunia (al-`ulama’ al-su’). Mereka terjauh dari pada sifat: “suka bertengkar dan bermusuhan dengan sesama muslim, suka bertindak merugikan umat Islam namun suka mengambil muka bahkan berkasih sayang dengan orang-orang fasik, munafik dan orang kafir”.

3. Untuk melahirkan para tuanku imam tersebut, perlunya segera didirikan suatu lembaga khusus yang bertanggung jawab dalam pendidikan para calon tuanku imam. Lembaga dimaksud juga bertindak dalam menjamin pengajian, tunjangan dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup yang wajar bagi para tuanku imam tersebut. Lembaga itu dapat berupa Lembaga Keimaman Nasional Indonesia, yang berjalan secara bersinergi dengan MUI dan organisasi keislaman lainnya. Sebagai upaya mengembalikan “kekuatan misi dakwah” yang dititik beratkan kepada peningkatan mutu amal ibadah dan ilmu keagamaan masyarakat maka para imam yang dikukuhkan (oleh Lembaga Keimaman Nasional setelah menyempurnakan hafalan ayat dan menyelesaikan pendidikannya) kepadanya diamanahkan untuk menggunakan gelar kehormatan kemasyarakatan Islam yaitu Tuanku Imam. Gelar ini dimaklumatkan (dilewakan) kepada umat Islam dan dikukuhkan kepada para tuanku imam tersebut di atas dasar `urf shalihat/adat yang ma`ruf. Agar simbol-simbol tersebut berfungsi dengan baik, kepada masyarakat Islam pada umumnya diminta untuk menyebutkan gelar Tuanku Imam itu dalam setiap panggilan dan sapaan terhadapnya, baik lisan atau tulisan. Hal ini bukanlah persoalan sepele, tetapi punya daya pengaruh signifikan. Gelar ini diharapkan mempunyai pengaruh besar dalam rangka menghormati dan mengembalikan sebagian kekuatan misi dakwah Islam tersebut, melalui penghormatan kepada para pelaksananya.[57] Tidak akan ada kepemimpinan tanpa didukung oleh kepantasan dan kompetensinya yang diiringi dengan penghargaan serta penghormatan untuknya.

4. Perlu diterapkan suatu metode yang tepat, menyeluruh yang antara unsur-unsurnya saling bersinergi, dan dapat dilaksanakan dengan segera dalam upaya menfungsikan masjid sebagai basis umat muslim sekitarnya. Untuk itu perlu adanya kepemimpinan yang berkompeten khusus untuk mengatur, melayani dan membidangi pemberdayaan fungsi masjid dan jamaahnya. Oleh karena itu harus ada pemisahan antara kepengurusan bidang sarana dan pembangunan gedung dengan kepengurusan bidang pembinaan dan pemberdayaan fungsi masjid dan jamaah. Pembinaan bidang pemberdayaan fungsi masjid dan jamaah hanya dapat dilakukan oleh suatu tim khusus yang terdiri dari orang-orang yang terdidik dan mempunyai kompetensi untuk itu, yang dipimpin oleh imam tetap masjid menurut konsep keimaman dalam makalah ini (tuanku imam). Pola pembagian kepengurusan ini dituangkan dalam bentuk aturan yang dibuat bersama secara seragam oleh MUI, pemerintah dan masyarakat. Kepengurusan bidang pembangunan dan prasarana dapat dilakukan oleh anggota jamaah masjid setempat yang memiliki kemampuan dan kesediaan untuk itu.

G. Gambaran Ringkas Fungsi Masjid Di Bawah Pembinaan Para Tuanku Imam

Di bawah pembinaan para tuanku imam, masjid yang telah terakreditasi,[58] sekurang-kurangnya dapat berfungsi sebagai berikut[59]:

1. Fungsi Masjid Sebagai Tempat Ibadah

Fungsi ini dapat terwujud dengan adanya seruan adzan dan iqamat pada setiap waktu shalat maktubah, pelaksanaan shalat berjama`ah setiap waktu shalat, shalat Jum`at dan khutbahnya, shalat tarawih dan witir, shalat dua hari raya (jika tidak dilapangan), pelaksanaan majelis dzikir baik (bersama-sama atau perorangan[60]), i`tikaf[61]. Di samping itu di masjid diharapkan juga dapat diberikan pelayanan bimbingan kerohanian (ishlah ruhiyah) seperti, acara muhasabah, pelayanan ruqyah syar`iyah[62] (untuk yang membutuhkan), dan acara tasmi` qira’at al-qur’an beserta terjemah dan tafsir ringkasnya dari juz pertama hingga tamat (menyimak tuntas secara berjamaah) yang dipimpin oleh imam atau para qari’ lainnya yang ditunjuk untuk itu oleh imam.

2. Fungsi Masjid Sebagai Tempat Pendidikan

Fungsi ini dapat terwujud dengan penyelenggaraan pendidikan[63] bagi anggota “jama`ah tetap”[64] yang terdiri dari kalangan pemuda dan dewasa, seperti: majelis ta`lim, kursus agama Islam dan bahasa Arab yang meliputi bidang mata pelajaran tafsir, hadis, fikih ibadah, mu`amalah, dll. Bila dibutuhkan, untuk momen tertentu dapat diselenggarakan seminar dengan mengundang pembicara lainnya sesuai kompetensi masing-masing.

Kegiatan pendidikan dan pengajaran masjid ini harus mempunyai kurikulum yang jelas dan terpadu untuk tiap-tiap tingkat dan semesternya yang berlaku secara nasional. Namun untuk gambaran ringkasnya dapat diberikan sebagai berikut.

Kursus perbaikan bacaan al-Qur`an dan bacaan shalat (tahsin qira`ah) dan hafalan ayat al-Qur’an (tahfizh) yang diberikan bagi seluruh tingkat umur: anak-anak, remaja, dewasa atau yang telah menikah dan para orang tua. Seluruh materi pelajaran diberikan dengan kurikulum yang jelas dan silabus yang relefan. Pendidikan dilengkapi dengan penyelenggaraan ujian dan pemberian sertifikat bagi peserta yang lulus dengan standar “minimal menguasai 60 % materi mata kuliah/pelajaran”. Pendidikan ini dilaksanakan layaknya “perkuliahan tanpa gelar” dan terbatas untuk beberapa mata kuliah pokok pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab.

Kurikulum pengetahuan agama Islam[65] sekurang-kurangnya meliputi:

(1. `Aqidah Islamiyah.[66]

(2. Fikih [67](ibadah, mu`amalah, munakahat, warisan, sosial dan siyasah dasar).

(3. Tafsir[68] (al-fatihah, surat-surat pendek, ayat-ayat hukum).

(4. Hadis[69] (aqidah, hukum, ibadah, akhlak, amaliyah insaniah Nabi SAW, dll).

(5. Akhlak dan tashawwuf.[70]

(6. Hidup Nabi Muhammad SAW, (fiqh sirah Nabawiyyah).[71]

(7. Bagi para orang tua atau calon orang tua, diberikan pelajaran khusus tentang pendidikan anak menurut Islam (tarbiyyatul awlad) dan dasar-dasar ilmu psikologi.

Masing-masing mata kuliah tersebut disusun dengan silabus yang rinci berikut dengan buku-buku bacaan wajib dan anjurannya. Bagi tiap mata kuliah yang diikuti oleh anggota jamaah masjid dievaluasi, baik dengan ujian tertulis maupun lisan. Mereka yang memenuhi syarat untuk lulus diberikan nilai dan tanda lulus untuk tiap mata pelajaran. Bila seluruh mata kuliah telah lulus maka diberikan sertifikat kecakapan dalam pengetahuan dasar agama Islam (setingkat diploma I dan tanpa gelar). Diharapkan “suatu saat” program tanpa gelar ini dapat dilaksanakan di bawah bimbingan perguruan tinggi agama Islam negeri setempat.

Dengan mengikuti program kursus agama Islam tersebut diharapkan pada suatu saat kebanyakan masyarakat muslim akan memiliki tingkat pengetahuan agama Islam yang rata-rata memenuhi standar pokok, terutama bagi mereka yang berdomisili di dekat masjid dan yang memanfaatkan atau mengikuti program ini.

Sedangkan bagi para pelajar tingkat sekolah menegah umum (SLTP dan SMA) yang memiliki minat dan dengan dukungan orang tuanya dapat mengikuti Program Pendidikan Pesantren Masjid (Pesurauan). Pelajar yang diterima mengikuti program ini terlebih dahulu diseleksi dengan standar penilaian tertentu. Hasil yang diharapkan dari program ini ialah mereka nantinya menjadi cendikiawan muslim atau profesional muslim yang shalih dan taat beragama, mempunyai basis pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab, fasih membaca serta hafal beberapa juz dari ayat al-Qur’an. Walaupun mereka nanti melanjutkan studi ke berbagai macam jenis jenjang pendidikan perguruan tinggi namun tetap taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Mereka nanti mempunyai kemampuan menjadi imam di rumah tangganya dan lingkungannya masing-masing, serta aktif dalam segala kegiatan dan gerakan dakwah dan pendidikan Islam seumur hidup. Dengan terwujudnya pesantren masjid (pasurauan) ini sebenarnya telah berdiri sebuah “semi pesantren” di masjid tersebut, namun tidak ditujukan untuk menjadi pesantren besar yang khas seperti yang biasanya. Pelajaran diberikan bukan dalam bentuk metode pesantren biasa, tetapi lebih ringkas dan lebih menekankan kepada penguasan dasar-dasar pengetahuan agama Islam (Dirasah Islamiyah) dan bahasa Arab (dengan titik berat kepada terjemahan al-Qur’an). Maksudnya kurikulum yang dipergunakan ditujukan untuk pembinaan ilmu asas keIslaman (`aqidah, syari`ah dan akhlaq), yang diperkuat dengan pembinaan mental spritual, praktek ibadah, dzikir, dan arahan agar santri memiliki cara pandang/pola pikir yang mengikuti tuntunan wahyu (fikrah shahihah/fikrah salimah).[72]

Gambaran sederhana dari pesurauan ini sebagai berikut. Pelajar yang bersangkutan menginap di asrama masjid, datang paling lambat setengah jam sebelum shalat Isya dan mendapatkan pendidikan peningkatan mutu baca al-Qur’an (program tahsin), ilmu pokok agama Islam (aqidah, fikih, tafsir, hadis dan sirah Nabi SAW), bahasa Arab dan hafalan ayat al-Qur’an (3 juz / 3 th yaitu juz: 28, 29 dan 30)[73]. Pelajaran diberikan setelah 30 menit selesai shalat Isya hingga jam 22.00. wib, (3 x 45 menit). Dalam tiap kali tatap muka; 30 menit pertama diisi dengan pelajaran tahsin bacaan al-Qur’an, 10 menit menghafal ayat (tahfizh), setelah itu dilanjutkan dengan mata pelajaran yang dijadwalkan. Pelajaran di kelas diberikan 5 sampai 6 hari (kali) dalam satu minggu.

Mata pelajaran program pesantren masjid (pasurauan) mirip dengan jenis program kecakapan pengetahuan agama untuk orang dewasa di atas. Para pelajar yang mengikuti program ini disebut dengan panggilan yang khusus seperti “santri masjid” ataumosque student. Di samping untuk pelajar pesurauan, program ini juga dibuka untuk level mahasiswa perguruan tinggi umum yang memenuhi syarat. Mereka tidak membayar untuk mengikuti kegiatan belajar di pasurauan ini, kecuali sekedar biaya konsumsi mereka sendiri.

Khusus tiap malam Jum`at dan malam Senin dilaksanakan pemupukan rohani (al-riadhah) di bawah bimbingan Tuanku Imam dengan melaksanakan 8 rakaat shalat tahajjud berjamaah, di tambah dengan 2 rakaat shalat hajat secara sendiri-sendiri, dilanjutkan dzikir dan muhasabah (30 menit) dan ditutup dengan shalat witir berjamaah. Sedangkan bagi hari yang lainnya, sebelum shalat subuh (30 menit sebelum adzan) dilakukan membaca dzikir al-Ma’tsurat berjamaah. Pembinaan kejasmanian atau olah raga tidak diberikan khusus karena sudah didapatkan di sekolah mereka masing-masing. Kalaupun dapat disediakan hanya terbatas pada olah raga yang sederhana seperti senam pernafasan, maraton, dan sejenisnya.

Program yang diterakan di atas adalah mengiringi dari program pendidikan untuk tingkat anak-anak yang dilaksanakan di MDA/TPA/TPSA yang telah ada selama ini. Dan program tersebut tetap dijalankan sebagaimana biasanya, tanpa perlu diserahkan kepada tuanku imam. Tugas tuanku imam justeru dititikberatkan untuk para remaja dan dewasa/orang tua, serta pembinaan kepada para guru mengaji dan guru MDA/TPA/TPSA jika memungkinkan. Hal tersebut disesuaikan menurut kebutuhan yang ada. Pembinaan khusus lainnya yaitu yang ditujukan kepada para guru TPA yang laki-laki yang masih muda dan kader-kader muda baik berasal dari kalangan pelajar madrasah aliyah atau mahasiswa perguruan tinggi agama Islam setempat yang berpotensi dan bercita-cita sebagai calon-calon imam. Mereka yang telah pernah mengikuti pengkaderan calon imam diberikan sertifkat kecakapan. Sertifikat ini dapat dijadikan referensi bagi yang bersangkutan jika suatu saat nanti mendaftar sebagai calon peserta pendidikan pada Lembaga Keimanan Nasional untuk menjadi tuanku imam.

3. Fungsi Masjid Sebagai Pusat Kegiatan Dakwah

Fungsi lainnya ialah sebagai pusat kegiatan dakwah agama[74] dan pembinaan para muallaf. Maksudnya kegiatan-kegiatan dakwah yang bersifat umum seperti tabligh akbar, ceramah Ramadhan, ceramah subuh, ceramah dhuha.

Di samping kegiatan di atas juga diberikan pelatihan tenaga penggerak dakwah tingkat dasar, dengan syarat sekurang-kurangnya telah memiliki ijazah Madrasah `Aliyah ke atas atau telah memiliki sertifikat kecakapan dalam pengetahuan dasar agama Islam. Materi kursus dasar dakwah diberikan berupa: Sejarah dakwah (sirah da`wah), fiqhud da`wah, akhlaq da`i, teori retorika dan teknik khutbah, antisipasi pemurtadan; kristologi dan orientalisme, dan hukum negara terutrama yang terkait dengan penyiaran ajaran agama.

4. Fungsi Masjid Sebagai Pusat Kegiatan Pembinaan Para Muallaf

Pusat pembinaan para muallaf[75] dimaksudkan untuk memberikam bimbingan terpadu terhadap orang-orang yang baru masuk Islam, selama jangka waktu paling lama lima tahun bagi tiap-tiap muallaf). Pembinaan meliputi pengetahuan terhadap dasar-dasar agama (aqidah, syari`at dan akhlak, serta fiqhus sirah Nabawi). Bimbingan bagi para mu’allaf dilakukan dengan kurikulum yang jelas urutan dan tujuan-tujuan masing-masing bahan ajarannya, sesuai pula dengan tingkat kemampuan pemahamannya.

Bila mu’allaf yang bersangkutan memiliki kecerdasan dan kesungguhan maka tingkat pedidikannya disatukan dengan majelis ta`lim dan kursus lainnya, atau diberikan layanan khusus yang tepat baginya agar terjadi percepatan peningkatan pemahaman Islam dan ilmu dakwah. Dengan demikian dapat diharapkan pada satu saat (seperti, setelah lima tahun kemudian) mu’allaf itu akan menjadi bahagian dari pelaku dakwah Islamiyah (bukan muallaf lagi). Dan dia mampu memberikan penjelasan yang benar dengan argumentasi yang baik kepada siapa saja yang belum mengenal Islam. Dalam kenyataan kerap ditemukan para muallaf justeru jadi da`i yang handal di kemudian hari. Bahkan muallaf tersebut mampu mendakwahi orang lain, sehingga kemudian orang tersebut masuk Islam secara suka rela (bahkan juga menjadi pendakwah agama Islam).

5. Fungsi Masjid Sebagai Tempat Pembinaan Ekonomi Syari`ah

Fungsi ini terkait dengan pendayagunaan harta zakat melalui BMT, agaknya ini lebih baik dikelola oleh tenaga profesional khusus, bukan imam masjid. Imam masjid tidak boleh ikut campur dalam persoalan teknis dan pengelolaannya, kecuali sebagai penasehat atau dewan syari`ahnya saja.

Imam masjid harus dihindarkan dari persoalan teknis, seperti menerima, menyimpan, atau mendistribusikan uang. Besar cacatnya jika suatu saat terjadi kesalahan atau kasus dalam hal ini, walaupun bukan dia yang mengambil uang itu. Jangan hanya karena hal kecil menyebabkan rencana yang besar ini menjadi hancur.

H. Tugas Rutin Harian Tuanku Imam dan Timnya

Dalam melaksanakan tugasnya tuanku imam dapat dibantu oleh sebuah tim, yang terdiri dari kader pesantren masjid (pasurauan), atau dari anggota jamaah masjid yang mampu. Untuk itu para tuanku imam harus tanggap dan pandai membina hubungan dengan anggota jamaah masjid yang mempunyai potensi intelektual dan kesalehan (termasuk apa yang disebut dengan kesalehan sosial). Mereka ini sebenarnya berpotensi sebagai penggerak program dakwah jika dilibatkan dengan cara yang baik dan didukung dengan kesadaran mereka atas tanggung jawab mereka sebagai bagian dari umat muslim. Suatu saat tim ini hanya diisi oleh calon tuanku imam yang sedang tugas belajar sebelum mendapatkan pengukuhan dan gelar tuanku imam. Sedangkan para anggota jemaah yang berpotensi tadi dijadikan sebagai bagian dari tim penguat gerak dakwah.

Tugas dan kegiatan rutin tuanku imam ialah sebagai berikut:

1. Mempersiapkan pelaksanaan ibadah dan shalat berjamaah di masjid dengan sebaik-baiknya antara lain menentukan ayat hafalan[76] yang akan dibaca di waktu shalat jahar.

2. Memberikan pelatihan kepada jamaah masjid secara teratur:

a. Tentang bacaan dan kaifiyat shalat yang benar, pengertian dari bacaan-bacaan dan gerakan shalat, pengetahuan tentang hukum, rukun dan cara memenuhi syarat sah shalat. Tata cara dan hukum bersuci serta macam-macamnya, dll.

b. Memberikan pelatihan cara membaca al-Qur’an yang benar (Tahsin Qira’ah/Tilawah).

c. Mempersiapkan kader imam pengganti sementara jika sewaktu-waktu tuanku imam berhalangan.

d. Memberikan bimbingan tentang hukum-hukum dan aturan berkenaan dengan sarana masjid, seperti cara menentukan arah kiblat, tempat berwudhuk yang benar, kebersihan sarana shalat dll.

e. Mengupayakan agar anggota masyarakat sekitar masjid tertarik dan dapat diajak untuk menjadi jemaah tetap masjid.

3. Memberikan Layanan Pendidikan dan Pelatihan Kepada Masyarakat melalui:

a. Memberikan pengajaran bahasa Arab, terjemah dan tafsir al-Quran, hadis, fikih ibadah, muamalah, akhlak tasawwuf dan sirah nabawiyah.

b. Memimpin pendidikan pesantren masjid (pasurauan) dan majelis ta`lim.

c. Memberikan pelatihan dan bimbingan tahfizh (hafalan al-Qur’an) kepada semua anggota jamaah yang berminat, termasuk anak-anak, remaja, dewasa dan para manula.

d. Memberikan pelatihan imam, khatib, muadzin kepada para pemuda masjid.

e. Memberikan layanan ruqyah syar`iyyah bagi jamaah yang membutuhkan.

f. Menyelenggarakan acara dzikir bersama (mejelis dzikir), tahlil dan do`a bersama.

g. Memimpin acara muhasabah dan istighatsah jamaah masjid

h. Memberikan layanan kosultasi (masalah hukum Islam, keluarga, dll).

4. Untuk meningkatkan kualitas SDMnya para tuanku imam juga punya jadwal mentelaah kitab, mengikuti pelatihan bahasa asing (Arab, Inggeris, Mandarin, Perancis, dll), mengikuti seminar ilmiah (baik sebagai pembicara maupun peserta), kursus tambahan atau kuliah S.3 bagi yang mampu, menulis, menterjemahkan buku, dll. [77] Oleh karena itu masing-masing tuanku imam memilki buku agenda khusus; agenda ibadah, agenda mengajar, agenda kunjungan dakwah, agenda kuliah dll.

5. Secara akademik seharusnya para tuanku imam setara dengan dosen di perguruan tinggi Islam, bahkan memiliki sisi kelebihan tertentu (yaitu hafizh dan pemimpin jemaah masjid). Hal ini memungkinkan karena mereka --paling kurang-- adalah tamatan program pascasarjana (S.2) konsentrasi syari`ah, tafsir atau hadis, menguasai bahasa Arab dan ilmu alat. Namun karena mereka menghadapi masyarakat dari berbagai lefel, maka mereka harus juga mengetahui ilmu lainya seperti ilmu pendidikan, sejarah Islam, pemikiran filasafat dan ilmu kalam, psikologi, politik, adat istiadat, sosiologi, ilmu dakwah, komunikasi, hukum, oreintalisme, kristologi, dan dianjurkan memperoleh akta mengajar (akta IV), dll. Para imam juga harus terampil menggunakan komputer dan internet. Untuk itu pelatihan dan pendidikan khusus para tuanku imam harus secara intensif dilaksanakan oleh lembaga keimaman.

6. Para tuanku imam juga berfungsi sebagai pemimpin keagamaan masyarakat berbasis masjid. Untuk itu, dengan bantuan tenaga teknis dari timnya dilakukan pendataan anggota jamaah tetap masjid. Data tersebut diperoleh dengan pencacahan masyarakat yang bermukin di sekitar masjid, berdasarkan kartu keluarga mereka. Perlaksanaan pendataan ini dilakukan dengan bekerjasama atau dibantu oleh tenaga pegawai kantor kelurahan/desa/nagari setempat. Sehingga dengan demikian, masjid mempunyai data-data jemaah tetap dan keluarganya, bahkan data masyarakat yang tinggal di sekitar masjid pada umumnya. Data ini diperlukan untuk membuat peta perencanaan program dakwah dan pembinaan umat.

7. Khusus untuk pembinaan hubungan dengan masing-masing anggota dan keluarga jamaah masjid, dapat dilakukan program rutin “dhuyufan”, yaitu tuanku imam dan timnya datang bertamu ke rumah-rumah jamaah masjid secara terjadwal dan bergiliran. Dalam kegiatan dhuyufan itu dilakukan acara pembinaan silaturrahim, membaca surat Yasin, ceramah dan taushiyah, lalu ditutup dengan berdo`a bersama untuk memohonkan keselamatan dan hidayah bagi ahlulbait dan jamaah masjid pada umumnya yang dipimpin oleh tuanku imam.

8. Dan beberapa bentuk program lainnya baik yang bersifat terjadwal atau insidentil.

I. Langkah untuk Melahirkan atau Menjadi Tuanku Imam

Melihat kepada syarat, kriteria, kompetensi dan tugas berat yang diembannya, mungkin akan menimbulkan persangkaan pada sebagian pihak bahwa untuk memperoleh sosok tuanku imam yang dimaksud di atas termasuk cukup sulit. Sebenarnya tidak demikian, sebab bila kondisi telah menuntut dan membutuhkan lalu diikuti dengan pengembangan serta pemberdayaan potensi, yang semuanya itu dapat berjalan baik maka berkemungkinan besar hal itu dapat tercapai. Di samping itu tentu harus ada perencanaan yang jelas, skala prioritas dan program yang realitis.

Untuk itu perlu didirikan Lembaga Pendidikan Tinggi Keimaman Nasional Indonesia (al-Ma`had al-`Aliy li Tarbiyyat A’immat Indunisiyyah), yang melaksanakan program pendidikan purna magister agama Islam untuk calon tuanku imam. Pendidikan ini berskala nasional (pendidikan diperuntukkan bagi calon imam seluruh Indonesia) yang berkedudukan di Sumatera Barat (kampus terletak di Kota yang paling strategis dan memiliki suasana kondusif untuk pendidikan ini, seperti: Bukittinggi, Padang Panjang, Payakumbuh, Padang atau lainnya). Pendidikan ini dilaksanakan dengan kerjasama antara Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol (untuk keilmuan/tafaqquh fi al-din), Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an (program tahfizh) dan Majelis Ulama Indonesia Propinsi Sumatera Barat (kordinator), didukung oleh Menteri Agama dan pemerintah daerah Propinsi Sumatera Barat (Gubernur) penyediaan sarana dan finansialnya. Bila satu saat Lembaga Tinggi Keimaman Nasional Indonsia telah terbentuk maka pendidikan ini dilaksanakan secara independen oleh lembaga tersebut.

Gambaran secara umum yang terdapat di dalam proposal ini ialah usaha membentuk orang-orang terpilih menjadi tuanku imam. Usaha ini secara relatif, bisa ya dan bisa tidak, membutuhkan waktu yang cukup lama, tenaga dan biaya. Namun seiring dengan usaha mempersiapkan ke arah itu, dapat dilakukan jalan pintas (secara terbatas) yakni dengan mengangkat para dosen IAIN, STAIN, yang telah memiliki sekurang-kurangnya ijazah S.2 dalam konsentrasi Syari`ah, Tafsir atau Hadis, memiliki kemampuan baca al-Qur’an yang fasih (qari’), hafal al-Qur’an minimal 10 juz secara berurutan dengan nilai baik atau lebih, dikenal berakhlak baik dan terhormat, sanggup menunaikan tugas sebagai tuanku imam di samping tugas rutinnya sebagai dosen. Kalau masih kekurangan SDMnya masih dapat diambil dari pegawai negeri di lingkungan perguruan tinggi Islam lainnya atau di jajaran Kantor Departemen Agama,[78] yang memenuhi kriteria di atas. Untuk itu perlu dukungan dari jajaran perguruan tinggi agama Islam atau jajaran Departeman Agama dari pusat sampai ke daerah.

Orang-orang yang tersebut di atas, dipilih dan diseleksi oleh MUI Propinsi Sumatera Barat, dibantu oleh tenaga ahli dan hafizh dari STIQ Padang. Setelah dinilai cakap, mereka membuat pernyataan bersedia dan berjanji untuk mengemban amanah sebagai tuanku imam selama hidup, tidak akan berkhianat, patuh setia kepada Allah dan Rasul-Nya, taat melaksanakan Agama Islam, sehingga patut menjadi contoh bagi umat muslim lainnya. Setelah melewati proses berbai`ah kepada Allah SWT. Contoh isi bai`ah itu sebagai berikut:

“Demi Allah aku bersumpah, akan setia setiap saat kepada Allah dan Rasul-Nya, mentaati ajaran al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya, melaksanakan amar ma`ruf nahyi munkar, memulai melakukan kebajikan dari diri sendiri dan keluarga, mendakwahkan Islam kepada umat manusia. Demi Allah, aku serahkan diriku kepada Allah untuk berjuang fi sabilillah, dalam senang maupun derita, semata-mata karena cintaku dan ketundukanku kepada Allah SWT dan sebagai upayaku untuk mencontoh dan meneruskan perjuangan Rasul-Nya”.

Dengan demikian maka MUI mengukuhkan mereka menjadi tuanku imam. Mereka memiliki hak dan kewajiban menjadi tuanku imam seumur hidup.Contoh format pengukuhan:

“Majelis Ulama Indonesia, Propinsi ……………, setelah meneliti syarat-syarat, kemampuan dan kompetensi saudara: Dr. H. Muhammad Amin, M.A. dan setelah mendengar bai`ahnya kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, dengan ini mengukuhkan saudara Dr. H. Muhammad Amin, M.A., tersebut sebagai Tuanku Imam ……., dan memberikan kepadanya hak-hak dan kewajiban sebagai Tuanku Imam untuk membimbing dan memimpin kaum muslimin di setiap masjid di mana saja dia bertugas. Dengan demikian mulai saat ini yang bersangkutan dipanggil dengan Tuanku Imam Dr. H. Muhammad Amin, M.A.. Demikianlah pengukuhan ini dilaksanakan di hadapan Majelis Ulama Indonesia Propinsi ……………………..agar dapat diketahui dan dipedomani oleh seluruh pihak. Ditetapkan di……………………., pada tanggal………….. Majelis Ulama Indonesia Propinsi ………………………, Ketua ………………… , Sekretaris…………………………”.

Bila lembaga keimaman nasional ini mempunyai kekuatan dalam finansial seperti al-Azhar di Mesir, maka para pegawai tersebut dapat saja memutuskan untuk pensiun dini dari PNSnya, untuk kemudian secara total memangku jabatan tuanku imam tersebut. Namun karena hal tersebut sulit untuk dicapai dalam jangka waktu pendek, maka perlu adanya kerjasama dan bantuan Menteri Agama RI untuk dapat mengambil kebijakan tertentu; menfungsikan pegawai Depag yang memenuhi syarat dan kesediaan seperti tersebut sebagai pegawai yang diperbantukan dalam tugas keimaman itu, dengan tetap berstatus sebagai PNS. Atau Departemen Agama menjadikan jabatan keimaman ini sebagai jabatan fungsional tersendiri bagi pegawai yang memenuhi syarat, seperti halnya guru, dosen, penyuluh dan penghulu.[79] Dengan demikian pengajian dan pensiunannya ditanggung oleh negara. Pada tahap puluhan tahun pertama (5 hingga 10 tahun pertama) jelas tidak seluruh masjid harus memiliki tuanku imam. Masjid yang diprioritaskan untuk itu ialah masjid-masjid yang mempunyai kriteria tertentu (terkareditasi amat baik atau lebih).

Para tuanku imam yang dikukuhkan sebagai generasi pertama jajaran keimaman ini, besar kewajiban mereka untuk merealisasikan program ini untuk jangka panjang. Mereka diharapkan benar-benar bertanggungjawab untuk itu, sebab sebelum dikukuhkan mereka telah mengangkat sumpah bai`ah kepada Allah SWT. Pelanggaran terhadap sumpah dan bai`ah tersebut lazimnya dapat mendatang mudharat yang tidak ringan bagi yang bersangkutan jika melanggar atau mengkhinatinya.

Bila ada tuanku imam tidak mau bertanggungjawab terhadap tugas dan kewajibannya tanpa adanya udzur syar`iy, maka sebaiknya dia mengajukan pengunduran diri, dan mengembalikan gelar tuanku imam kepada Lembaga Keimaman berikut seluruh atributnya, kecuali gaji dan tunjangan yang sebelumnya telah diterimanya. Semoga hal ini tidak akan pernah terjadi. Bila hal ini terjadi tentu akan menjadi cacat bagi sejarah hidup seorang tuanku imam yang mundur dari medan perjuangan. Namun jika terjadi juga, agar kedudukan yang bersangkutan dapat digantikan tuanku imam lain yang mempunyai semangat dan keikhlasan dalam perjuangan dan dakwah Islam.

J. Langkah Awal yang Konkrit

Sebagai langkah awal untuk mewujudkan program di atas tersebut, maka Majelis Ulama Indonesia Propinsi Sumatera Barat dengan dukungan Gubernur[80] diharapkan secepatnya membentuk Lembaga Keimaman Nasional tingkat propinsi. Tentu lebih baik lagi jika mendapatkan persetujuan DPRD Propinsi Sumatera Barat, sehingga keberadaannya dijamin berdasarkan Peraturan Daerah.[81] Pada awalnya, sampai dapat mandiri, Lembaga ini berada di bawah koordinasi MUI Propinsi. Pelaksanaan segala kegiatannya melibatkan tenaga dosen yang berkompeten dari perguruan tinggi Islam yang diwakili oleh IAIN-Program Pascasarjana (untuk pembinaan keilmuan), Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur`an (untuk pembinaan ke-hafizh-an) dan Kanwil Depag Propinsi (yang akan memperbantukan pegawainya sebagai staf administrasi lembaga ini). Lembaga ini sementara didanai dengan anggaran pemerintah daerah dan bantuan pihak swasta lainnya. Untuk menghemat tenaga pegawainya dapat diperbantukan dari pegawai IAIN atau Depag di samping pegawai pemda yang cocok untuk tugas ini (sehingga lembaga keimaman tidak mengeluarkan biaya untuk gaji mereka).

Sumatera Barat diharapkan dapat menjadi pelopor pelaksanaan program Reaktualisasi dan Revitalisasi Lembaga Keimaman untuk Pembinaan Masyarakat Muslim Berbasis Masjid ini.[82] Setelah itu mengajak propinsi lain yang berdekatan seperti Aceh, Riau, Jambi, Sumut, Bengkulu, Gorontalo, dan lainnya untuk secara bersama melaksanakan program ini. Diharapkan setelah lima tahun berjalan (perkiraan sementara) Lembaga Tinggi Keimaman Nasional dapat dibentuk dengan fungsi seperti diterakan di atas atau lebih baik dari itu.

K. Lembaga Keimaman Nasional

Konsep Lembaga Keimaman Nasional perlu dibuat secara lengkap dan rinci. Secara ringkas Lembaga ini ialah:

1. Nama

Nama yang dipergunakan ialah Lembaga Keimaman Nasional untuk tingkat propinsi dan Lembaga Tinggi Keimaman Nasional untuk tingkat pusat. Dibentuk secara hukum oleh pemerintah tingkat propinsi (gubenur) dan pusat (menteri agama) dengan penanggungjawab pelaksananya MUI Pusat dan MUI Propinsi masing-masing.[83] Walaupun pada awalnya terkesan dibentuk oleh pemerintah bersama dengan MUI di masing-masing propinsi, namun dicantumkan dengan jelas di dalam diktum pembentukan lembaga ini bahwa Lembaga Keimaman ini akan otomatis menjadi independen setelah dikukuhkannya (di propinsi itu) paling kurang dua puluh lima orang tuanku imam. Keduapuluh lima tuanku imam tersebut harus mampu melaksakan seluruh amanah lembaga dan melestarikannya sesuai dengan tujuan pendirian, aturan dasar dan aturan rumah tangga Lembaga Keimaman Nasional di propinsi tersebut. Himpunan Lembaga Keimaman Propinsi inilah nantinya bersatu untuk membentuk Lembaga Tinggi Keimaman Nasional.

2. Tujuan Fungsi Secara Umum

Lembaga ini bertujuan untuk mengurus dan membina segala hal ihwal keimaman masjid yang meliputi unsur:

a). Pengadaan tenaga para imam fungsional, mulai dari peyeleksian calon peserta pendidikan imam, penyelenggaraan pendidikan, pengukuhan dan pelaksanaan tugas, merancang segala kegiatan dan tugas-tugas para tuanku imam.

b). Melaksanakan upaya penjaminan biaya hidup/gaji dan kesejahteraan para tuanku imam (gaji dan tunjangan lainnya termasuk pensiun) semenjak ditugaskan hingga pensiun. Percontohan dan acuan yang paling baik ialah lembaga wakaf yang menjamin pembiayaan untuk “kelangsungan hidup” Universitas al-Azhar di Mesir.[84]

c). Melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang tugas fungsi lembaga dan para tuanku imam, serta melakukan kerjasama dengan lembaga lainnya yang sejenis di luar negeri guna peningkatan kualitas program secara umum.

d). Melakukan advokasi hukum, penasehat hukum bagi kegiatan keimaman sepanjang dibutuhkan.

e). Menerbitkan pemberitaan tentang kegiatan keimaman dan pembinaan dakwah Islam secara umum baik dalam bentuk media konvensional maupun modern (seperti memiliki bagian produksi film berbentuk CD atau VCD yang berisi kuliah agama Islam dengan modul dan kurikulum yang sejalan dengan mata kuliah di masjid-masjid). Mengadakan saling bertukar informasi dengan berbagai lembaga dakwah Islam baik di dalam maupun di luar negeri agar dapat menjadi konstribusi bagi seluruh tuanku imam. Dengan demikian diharapkan para tuanku imam memahami perkembangan dakwah dalam arus global dan guna mengambil kebijakan yang tepat untuk bersikap, baik secara personal atau secara kolektif.

3. Unsur Lembaga Keimaman

Lembaga Keimaman terdiri dari dua unsur utama yaitu: Dewan Imam Nasional dan Majelis Syura Imam Nasional, yang hanya diisi oleh para tuanku imam. Di bawah Dewan Imam Nasional tersebut dibentuk tiga badan lainnya yaitu Lembaga Pendidikan Tinggi Keimaman Nasional Indonesia, Badan Setia Usaha (BSU) dan Badan Kenadziran Nasional Indonesia.

Lembaga Pendidikan Tinggi Keimaman Nasional Indonesia adalah badan khusus yang diisi oleh tenaga dosen dan pendidik menurut kompetensi keilmuan masing-masing tidak mesti berasal dari kalangan tuanku imam. Lembaga Pendidikan ini berfungsi untuk menyelenggarakan pendidikan keimaman dan mengukuhkan para lulusannya menjadi tuanku imam. Seluruh lulusan yang telah dikukuhkan menjadi tuanku imam otomatis menjadi anggota Dewan Imam Nasional Indonesia. Selain itu Lembaga ini juga melaksanakan pembinaan terhadap seluruh tuanku imam melalui program peningkatan kompetensi keimaman, pembinaan kehafizhan, tafaqquh fi al-din, tarbiyah ruhiyyah wa sufiyah dan latihan kepemimpinan lanjutan, menfasilitasi para tuanku imam untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang program doktor (S3).

Badan Setia Usaha diisi oleh tenaga-tenaga profesional dan terampil untuk bidang usaha perekonomian, teknologi, informatika, karyawan, advokat, akuntans, dokter, dan lainnya. Mereka tersebut bertugas sebagai tenaga profesional dibidang teknis masing-masing untuk menunjang pelaksanaan misi lembaga keimaman. Ruang lingkup kerja badan setia usaha antara lain mengurus administrasi lembaga, menyediakan pegawai, kesehatan, batuan hukum, konsultan dan mengurus pemanfaatan teknologi penunjang. Seluruh staf dan pegawai yang dibutuhkan di seluruh bagian dan unsur lembaga keimaman adalah tanggung jawab badan setia usaha untuk menyediakannya.

Badan Kenadziran diisi oleh tenaga pekerja, tenaga ahli dan profesional yang berfungsi untuk menghimpun harta wakaf, mengembangkannya dan memproduktifkan sehingga mengasilkan uang yang mencukupi untuk pembiayaan seluruh kegiatan lembaga keimaman dan bagian-bagiannya. Agar kerja badan kenadziran dapat berjalan secara profesional maka lembaga ini dapat mendirikan Perusahaan Terbatas (PT) untuk pengelolaan seluruh harta wakaf yang dinadzirinya.

Fungsi lembaga keimaman: menggaji dan memberikan tunjangan para tuanku imam, namun tidak begitu dibutuhkan lagi jika jaminan gaji dan tunjangan tersebut dapat diambil dari dana anggaran belanja negara, daerah propinsi dan kabupaten kota setempat. Akan tetapi hal itu tidak mungkin jika lembaga ini bukan bagian dari lembaga resmi negara yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan, atau jika para tuanku imam tersebut bukan sebagai PNS. Walau terbuka kemungkinan kebutuhan dana tersebut dapat diambil dari sebagian harta zakat yang terhimpun di seluruh Indonesia, dana bantuan kesejahteraan sosial atau yang semisalnya, agar tidak ada kesan “mengemis” maka seharusnya ada bagian dari dalam lembaga keimaman sendiri yang berusaha secara independen untuk mengurus gaji, tunjangan, asuransi para tuanku imam dan keluarganya. Oleh sebab itulah lembaga keimaman ini harus memiliki Badan Kenadziran dan perusahaan khusus untuk dapat memenuhi segala kebutuhan penggajian dan finansialnya.

4. Bentuk dan Sistem Organisasi

Pada dasarnya lembaga keimaman adalah sebuah lembaga independen non pemerintah seperti halnya MUI, keanggotaanya hanya diisi oleh para tuanku imam saja ditambah dengan anggota muda (para calon imam yang masih dalam masa pendidikan). Hanya saja lembaga ini akan selalu beriringan jalan dengan MUI. Bahkan para tuanku imam di setiap wilayah seharusnya menjadi anggota MUI, mulai dari tingkat kecamatan hingga tingkat pusat. Segala fatwa MUI akan didukung oleh Lembaga Keimaman dalam bentuk sosialisasi ke tengah masyarakat luas. Sehingga masyarakat dapat memahami fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI tersebut dengan baik. Bentuk keorganisasian Lembaga ini ialah: untuk tingkat Nasional lembaga ini terdiri dari Dewan Imam Nasional dan Majelis Syura Imam Nasional.

Dewan Imam Nasional diurus oleh jajaran kepengurusan pusat yang terdiri dari: Pemimpin Besar (Imam `Uzhma), Wakil Pemimpin Besar (Wakil Imam `Uzhma), Sekretaris Jenderal (Katib `Amm), Bendahara dan Kenadziran (Amin al-Shunduq), Ketua Bidang Pedidikan dan Dakwah (Rais Syu’un al-Tarbiyyah wa al-Da`wah), Ketua Bidang Pembinaan Tahfizh dan Kode Etik (Rais Syu’un li Bina’i Tahfizh al-Qur’an wa Khuluq al-A’immah), Ketua Bidang Hubungan Luar dan Informasi (Rais Syu’un al-Kharijiyah wa al-Nasyr wa al-Tauzi`). Lembaga musyawarah seluruh tuanku imam secara nasional (Majelis Syura) dipimpin oleh tiga tuanku imam besar, terdiri dari ketua Majelis Syura (Rais Majlis Syura), wakil ketua (Wakil Rais Majlis Syura) dan Sekretaris Majelis (Katib Majlis Syura). Lembaga musyawarah ini hanya diperlukan untuk pemilihan para pimpinan dewan imam dan membuat garis kebijakan untuk sepuluh tahun kedepan dan rincian untuk setiap kegiatan pertahunnya.[85]

Sistem pemilihan dilakukan dengan terbuka, masing-masing imam menuliskan sejumlah nama tuanku imam yang memenuhi syarat dan dianggapnya cakap sebagai pemimpin. Tuanku imam yang memperoleh suara yang terbanyak dikukuhkan menjadi pemimpin. Seluruh imam mengucapkan janji kesetiaan mereka kepada keputusan syura. Kepemimpinan dipergilirkan sekali lima tahun. Pemimpin umum dan wakilnya (Imam `Uzhma dan wakilnya) hanya diambil dari para tuanku imam besar (hafalan 30 juz). Sekretaris Jenderal dan Bendahara/Kenadziran, dan lainnya hanya diambil paling kurang dari tuanku imam madya (hafalan minimal 20 juz).

Kepemimpinan untuk tingkat propinsi cukup ditetapkan melalui penunjukan oleh pemimpin tingkat nasional melalui suatu mekanisme yang baku berdasarkan tingkat kemampuan dan masa tugas.[86] Struktur untuk tingkat propinsi, cukup satu orang ketua wilayah, sekretaris dan bendahara. Tugas mereka ialah melakukan koordinasi kegiatan, musyawarah, seminar bulanan para imam sepropinsi itu dan ikut aktif dalam lembaga Majelis Ulama Indonesia di daerah. Untuk tingkat kota dan kabupaten cukup satu orang kordinator daerah saja, yang bertugas melaporkan kegiatan bulanan baik ke pusat dan propinsi menurut format tertentu dan lembaran yang disediakan. Penunjukan kordinator pada setiap kota dan kabupaten dilakukan oleh pimpinan propinsi. Jumlah pengawai setia usaha pelaksana kerja administrasi di setiap propinsi diadakan hanya seperlunya.

Dengan pembatasan seperti ini diharapkan tidak menimbulkan ambisi kepemimpinan yang tidak perlu. Sebab tugas kepemimpinan dalam jajaran lembaga keimaman ini sebenarnya tugas tambahan semata. Kesibukan tambahan ini jelas akan mengurangi waktu bagi takrir yaitu pengulangan dan penjagaan hafalan, yang menjadi pekerjaan rutin setiap tuanku imam. Sistem didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting tepat digunakan dalam lembaga ini. Kecuali pemimpin besar (imam `uzhma) dan wakilnya yang diharapkan muncul sebagai figur berkharisma dan pemimpin umat tidak perlu dibatasi periode masa jabatannya, semata-mata tergantung kepada hasil pemilihan yang dilakukan sekali setiap lima tahun. Sedangkan jabatan lainnya harus dipergilirkan, tidak boleh dijabat untuk dua kali jabatan oleh orang yang sama. Sistem keorganisasian ini dapat disempurnakan menurut kebutuhan masa dan kemaslahatannya. Hal ini mengingat bahwa semua yang menjadi tuanku imam adalah orang-orang yang telah tersaring secara ketat, punya kompetensi dan tingkat pendidikan yang tinggi. Sehingga, dengan demikian seluruh mereka adalah orang-orang yang memang cakap dan cerdas, tidak begitu tinggi tingkat perbedaan kualitas SDMnya.

Bagian III

Harapan dan Saran

1. Beberapa hal yang belum termuat dalam konsep ini diharapkan dapat disempurnakan sebagai sebuah tim yang memiliki perhatian atas persoalan keimaman ini. Sehingga lahirlah sebuah konsep dan program yang lebih sistematis, lengkap dan terpadu. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan dan pengayaan oleh satu tim perumus. Untuk membentuk tim perumus tersebut kami harapkan kesediaan Ustadz/Bapak/Ibu dan Saudara.

2. Setelah konsep finalnya selesai maka proposal ini dilokakaryakan untuk meminta masukan kepada pihak pemerintah daerah (Gubernur, DPRD), Perguruan Tinggi Islam, MUI dan organisasi sosial keagamaan Islam lainnya, hingga hal yang bersifat teknis, termasuk hal-hal yang berkenaan dengan legalitasnya, sekaligus menjawab pertanyaan yang mungkin timbul. Sehingga diharapkan rencana ini akan mendapat perhatian dan sambutan yang baik. Jika pada tingkat propinsi konsep ini sudah dapat diterima maka urutan tahap selanjutnya adalah menawarkannya ke setiap kota dan kabupaten hingga ke masyarakat. Jika dapat, Lembaga ini telah berdiri dan bekerja di awal tahun 2007. Paling lambat pada awal tahun 2010 telah terlaksana secara sempurna seluruh rangkaian kerja Lembaga ini.

3. Kalau memungkinkan Sumatera Barat diusahakan menjadi pusat pendidikan para tuanku imam secara nasional. Namun diharapkan hal ini bukan karena dorongan romantisme sejarah, tetapi karena ingin beramal lebih baik dan memberikan manfaat untuk umat muslim secara nasional. Sebagai mana layaknya IAIN, mahasiswa Lembaga Keimaman Nasional ini berkemungkinan akan datang dari negara tetangga. Dengan adanya satu pola pendidikan ini maka dimungkinkan adanya kesamaan dalam sebagian besar misi dan pola pembinaan masyarakat muslim berbasis masjid secara nasional. Dapat juga dirancang Lembaga Keimaman Nasional tidak berpusat di Jakarta tetapi di Bukittinggi atau Padang misalnya.

4. Program ini berkaitan dengan upaya “membangkitkan masyarakat muslim berbasis masjid secara merata”. Untuk merealisasikannya pada tahap awal hendaknya dapat dibentuk Panitia Khusus Untuk Pembentukan Lembaga Keimaman Nasional Indonesia. Pelaksanaan rencana ini semenjak dari awal hingga seterusnya akan melibatkan banyak pihak. Setiap orang, pihak atau kelompok yang terlibat dalam program ini wajib memulai keterlibatan mereka dengan niat baik, ikhlash karena Allah SWT bukan untuk keuntungan pribadi, pangkat, politik praktis ataupun uang. Jangan sampai ada orang yang terlibat dalam rencana ini --disebabkan niatnya yang tidak ikhlash-- justeru menjadi unsur perusak dan penghalang tercapainya tujuan dari perwujudan lembaga keimaman dimaksud.

5. Berkaitan dengan buku dan kitab yang dijadikan contoh pegangan untuk pendidikan pesantren masjid atau kursus kepahaman Islam bagi jemaah masjid dalam uraian sebelumnya, dapat disesuaikan dengan tujuan lembaga ini. Untuk memudahkan, dapat diambil kitab-kitab pegangan pendidikan di Madrasah Sumatera Thawalib Parabek, Thawalib Padang Panjang, Diniyyah Puteri, atau Tarbiyyah Candung. Seperti kitab-kitab tafsir, hadis, fikih, dll.[87]

6. Hal yang belum tergambar dalam tulisan ini ialah sistem dan metode pendidikan dan pembinaan para calon tuanku imam, para pembinanya,[88] tempat pelaksanaan[89] serta lama masa pendidikannya. Karena hal tersebut cukup banyak cakupannya maka akan ditulis dalam satu tulisan tersendiri. Demikian juga sistem akreditasi masjid. Legalisasi lembaga keimaman. Pemetaan dan pendataan masyarakat muslim yang berdiam di lingkungan masjid. Perlindungan dan bantuan hukum bagi para tuanku imam dalam hal yang berkaitan dengan tugasnya, bila dibutuhkan. Bentuk pencarian dana, pengelolaan harta wakaf, harta sumbangan lainnya, yang hasilnya diperuntukkan bagi pembayaran kebutuhan fasilitas dan sarana berbagai kegiatan lembaga keimaman, penggajian, pensiun, asuransi, dan tunjangan lainnya. Demikian juga dengan hal-hal lainnya yang belum teruraikan di makalah ini namun sebenarnya penting.

7. Berkenaan dengan metode dakwah yang digunakan, jika melihat keberhasilan dakwah kontemporer dalam abad ini, maka metode dakwah yang telah terbukti mampu memberikan pencerahan kepada umat muslim baik di Indonesia maupun di dunia Islam umumnya harus diperhatikan untuk dijadikan contoh. Dipetik sisi-sisi yang terbaik darinya untuk diperkaya, selanjutnya dipraktekkan. Semua yang terbukti baik dan unggul harus diakui keunggulannya, agar dapat dijadikan sebagai contoh dan pelajaran untuk diterapkan guna kemajuan seluruh kaum muslimin. Pegangan yang paling baik ialah kaidah: mendengar pendapat lalu mengambil yang terbaik darinya, bersatu dalam yang disepakati dan bertimbang rasa dalam hal-hal yang tidak disepakati. Dengan demikian tak ada keruh yang tak akan jernih, tak ada kusut yang tak akan selesai.

8. Rancangan ini kami sampaikan dengan hormat kepada Ustadz/Bapak/Ibu/ Saudara yang bersedia mencurahkan perhatiannya untuk cita-cita ini, untuk mohon dukungan dan sumbangannya baik moril maupun materil. Juga diharapkan siapa saja yang punya niat baik untuk memperjuangkan ini. Hal yang amat penting ialah agar niat awal dan tujuan dari pembentukan Lembaga Keimaman Nasional dan segala cita-cita yang terkandung di dalam pembentukannya itu terwujudkan. Semoga umat muslim pada umumnya mendapatkan manfaatnya dan Allah SWT meredhai. Terima kasih.

Padang, 1426H/ 2005 M.



[1]Rasulullah SAW telah membangun umat muslim dengan dasar tauhid, sebagai komunitas masyarakat berbasis masjid, mempunyai pandangan yang jelas tentang makna kehidupan, terpimpin dalam urusan dunia dan akhirat, punya daya imunitas tinggi terhadap arus kesyirikan dan kekufuran (berbentuk amar ma`ruf dan nahyi munkar), bersemangat dalam membangun peradaban dunia untuk kebahagian akhirat (al-jihad fi sabilillah), dan tiada jemu meneliti ayat-ayat dan sunatullah (al-rasikh fi al-`ilm). Di akhir hayatnya, Rasulullah SAW pernah berpesan agar kaum muslimin selalu menjaga shalat mereka dan berakhlak baik (termasuk) kepada pembantu mereka (bawahan), dan mengingatkan bahwa bagian yang pertama kali runtuh dari bangunan umat Islam ialah lembaga khilafah dan yang terakhir ialah shalat mereka.

Adapun sosok imam (selanjutnya disebut Tuanku Imam Besar) yang diangkat dalam tulisan ini adalah: orang-orang yang berkompetensi sebagai pemimpin dengan refleksi gabungan antara kompetensi keimaman untuk shalat, kepemimpinan bagi jamaah masjid dan masyarakat muslim di sekitar masjid, pengemban misi pendidikan dan dakwah Islamiyah. Sehingga dengan keberadaann mereka dapat diwujudkan masyarakat muslim berbasis masjid. Pemikiran ini didasari oleh prinsip bahwa imam adalah pelaksana hirasat al-din wa siasat al-dunya. Karena siyasat al-dunya telah ditangani oleh kalangan umara (pemerintah negara), maka tuanku imam paling kurang seharusnya melaksanakan hirasat al-din. Untuk itu tuanku imam harus diangkat dari sosok pribadi yang berkompeten, dan layak dari segi ilmu, akhlaq, dan kemampuan. Dikukuhkan secara resmi oleh umat muslim dan pemerintah yang diwakili oleh lembaga khusus yang diberi kewenangan. Jadi dikotomis makna keimaman harus secara bertahap dikurangi. Contoh pribadi yang diangkat dalam makalah ini, banyak terdapat dalam lembaran sejarah umat muslim dunia. Hanya saja, posisi kepemimpinan umat yang terdapat dalam diri mereka tidak diangkat dalam bentuk yang tersistemkan sebagai bagian dari pola hidup masyarakat muslim.

[2]Rā`in artinya pengembala, yaitu orang yang dipercaya untuk melindungi, mencarikan makanan, dan membawa kembali gembalaannya ke kandang dalam keadaan selamat. Dari pengembalaan itu dia akan memperoleh keberuntungan berupa upah baik dari pemilik ternak yang digembalakannya atau bagi hasil keuntungan dari harga jual ternak gembalaannya itu. Sebaliknya ia juga harus bertanggungjawab jika di tangannya ada ternak yang hilang, tidak selamat kembali ke kandang, karena kelalaiannya. Prinsip pengembala ialah: bahwa dia harus memperhatikan nasib gembalaannya agar mendapat makanan yang cukup, selamat dari bahaya binatang buas yang akan menerkam mereka, dan membawa pulang gembalaannya dalam keadaan sehat dan gemuk. Begitulah setiap hari yang harus dilakukan oleh pengembala. Sehingga ternak gembalaannya berkembang biak dan harganya menjadi lebih tinggi. Pengembala tentu tidak akan pernah bersaing dengan gembalaannya untuk berebut makanan.

Pemimpin bertanggung jawab terhadap orang-orang yang dipimpinnya, sekurang-kurangnya seperti pengembala bertanggung jawab terhadap gembalaannya. Apalagi kepemimpinan manusia terhadap manusia yang lain akan diminta pertangungjawabannya oleh si Pemilik Manusia itu yakni Allah SWT. Para pemimpin akan mendapat imbalan besar dari Allah SWT (al-ajru) karena kemaslahatan yang diikhtiarkannya bagi orang-orang yang dipimpinnya. Sebaliknya dia akan bertanggung jawab kepada Allah SWT jika orang-orang yang dipimpinnya tidak diperhatikannya sehingga diterkam serigala atau singa (syetan atau iblis) atau jika dia menzalimi mereka. Oleh karena itu pemimpin harus orang yang sehat lahir batin, berakhlaq mulia, kuat mental dan fisiknya, berilmu pengetahuan yang mencukupi, mampu untuk menjaga dan melindungi orang-orang yang dipimpinnya.

[3]Lihat Q.S: [9:71]

[4]Lihat Q.S: [68:4]

[5]Lihat Q.S: [11:7]; [18:7] ; [28:77]

[6]Lihat Q.S: [30:30-31] ; [6:161-163]

[7]Artinya perbuatan baik itu sudah menjadi bahagian dari hidup dan kepribadiannya, baik sebagai hasil latihan yang dilakukannya sebelumnya, atau sudah menjadi bawaan dirinya.

[8]Definisi ini kesimpulan penulis berdasarkan beberapa definisi ulama tentang pengertian akhlak karimah.

[9]Lihat Q.S: [7: 96]

[10]Lihat Q.S: [34: 15]

[11]Lihat Q.S: [39:15] dan keterangannya pada Abdullah Nasih `Ulwan, Pesan Untuk Pemuda Islam, judul asli Hatta Ya`lama al-Syabbab, diterjemahkan oleh Jamaluddin Sais, (Jakarta: Gema Insani Press, 1991), Cet. ke-2, h. 62-91, Abdulllah Nasih `Ulwan menyatakan bahwa dalam Islam terdapat beberapa bentuk jihad, yaitu: jihad harta, jihad tabligh, jihad taklim, jihad politik dan jihad perang.

[12]Lihat Q.S: [40: 38]

[13]Lihat Q.S: [12: 104, 108]; [16: 125-128]

[14]Lihat Q.S: [12: 104];[41: 33];[16:125]

[15]Lihat Q.S: [33:21]

[16]Lihat Q.S: [9:122]

[17]Lihat Q.S: [103:3]

[18]Lihat Q.S: [3:112]

[19]Lihat Q.S: [61: 2,3];[9: 122]

[20]Tuanku ialah gelar yang digunakan untuk menyebut dan menghormati orang terkemuka dalam lembaga keagamaan Juga terhadap orang alim yang memimpin pendidikan, dakwah, dan perjuangan umat Islam di Minangkabau. Atau pada lembaga adat di Minangkabau seperti, tuan gadang di Batipuh, tuanku lareh, tuanku qadi. Gelar kehormatan lainnya yang dipakai masyarakat terhadap ulama terkemuka ialah Syekh, di samping itu ada juga panggilan Inyiak, Buya dan Ustadz. Selain itu ada gelar: ungku kali, katik, imam nagari, bila, labai dan tuangku. Lihat: A.A Navis, Alam Terkembang Jadi Guru Adat Dan Kebudayaan Minangkabau, Pengantar Dr. taufik Abdullah, (Jakarta: Grafiti Pers, 1984), h. 24-31.

Sebutan tuangku barangkali berasal dari gelar teungku yang dipergunakan untuk para ulama dan guru agama Islam terkemuka di Aceh (seperti Teungku Cik di Tiro, berbeda dengan teuku; gelar bangsawan Aceh) namun terpengaruh dengan kata tuanku, sehingga dibaca dengan tuangku. Ini gelar guru agama di kalangan penganut paham Thariqat Satariyyah di daerah Padang Pariaman yang berpusat di Ulakan. Barangkali dahulu murid-murid pertama Syekh Burhanuddin diberi gelar olehnya dengan gelar teungku yang menurut lidah pariaman dibaca dengan tuangku. Syekh Burhanuddin sendiri disebut juga dengan Tuangku Ulakan, beliau belajar Islam dari ulama besar Aceh, Syekh Abdur Rauf dan Syekh Hamzah Fansuri. Selain itu daerah Padang pariaman dahulu adalah taklukan Kerajaan Aceh. Kemungkinan kedua ialah bahwa gelar tuangku tersebut sama halnya dengan gelar tuanku di daerah darek, seprti dipergunakan oleh masayarakat dalam menyebut pemuka agama Islam dengan sebutan tuanku tuo, tuanku nan barapi dll. Setelah itu gelar ini dipergunakan turun temurun dari guru kepada muridnya. Menurut aturannya gelar tuangku diberikan oleh seorang tuangku kepada para pakiah yang menjadi muridnya jika telah tamat mengaji ilmu agama di surau tuangku itu. Pakiah tersebut dilantik menjadi tuangku setelah terlebih dahulu mengucapkan bai`ah menurut tata cara Tariqat Satariyyah di hadapan gurunya tersebut. Pelantikan disertai perhelatan, mengundang para tuangku lainnya, pemuka masyarakat dan karib kerabat, serta menjamu mereka. Guru akan memberinya gelar tuangku dengan tambahan kata seperti tuangku bandaro, tuangku mudo, tuangku kuniang, dan lain-lain menurut pilihannya. Kenyataan bahwa posisi keagamaan telah diangkat mernjadi posisi resmi dalam kehidupan masyarakat adat ini dapat dijadikan sebagai dasar upaya refungsionalisasi para tuanku imam di ranah Minang khususnya dan wilayah mayoritas muslim lainnya di seluruh Indonesia pada umumnya. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat adat tersebut dapat dipandang sebagai fungsi keimaman dalam hirasat al-din. Terlepas dari sempurna atau tidaknya cara yang dipergunakan dan hasil yang dicapai oleh mereka.

[21]Orang Minangkabau yang pernah menjadi imam Masjidil Haram diangkat oleh penguasa Jazirah Arab ketika itu. Dia tidak saja menjadi imam shalat, tetapi juga mengajarkan pemahaman yang shahih tentang Islam kepada para generasi penerus. Di antara murid beliau ialah, K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Persyarikatan Muhammadiyyah), Syekh Dr. Abdul Karim Amrullah, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Muhammad Thaib Umar, Dr. Abdullah Ahmad, H. Agus Salim dan sebagian besar para ulama Minangkabau yang pernah belajar di Makkah yang pulang sebagai kaum pembaharu untuk meluruskan paham tentang ajaran Islam, dll. Inilah seharusnya yang juga dilaksanakan oleh para tuanku imam, yakni mendidik dan mengarahkan umat ke jalan kebenaran, bukan hanya sekedar memimpin pelaksanaan shalat semata. Tuanku Imam hendaknya menjadi penggerak penegakkan amar ma`ruf- nahyi munkar dan contoh teladan di tengah umat.

[22]Lihat selengkapnya pada: Marwan Saridjo dkk, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1980), h. 47-49 juga lihat pada Soeparlan Soeryopratondo dan M. Syarif, Kapita Selekta Pondok Pesantren, (Jakarta: Paryu Barkah, 1976), h. 5-37

[23]Guru besar mantan rektor IAIN (UIN) Jakarta, alumni Universitas al-Azhar Kairo, mantan menteri agama, imam besar Masjid at-Tin Jakarta. Beliau dikenal sebagai ulama yang sering memberikan siraman rohani kepada masyarakat dengan pengajian tafsir al-Qur’an, baik melalui tulisan atau media televisi.

[24]Dosen pascasarjana UIN Jakarta, alumni Univesitas Madinah, da`i dan pemimpin pesantren al-Qur’an di daerah Jawa Barat. Dikenal karena sering muncul di TVRI memberikan siraman rohani Islam.

[25]Dosen pascasarjana UIN Jakarta, alumni Universitas Madinah, da`i yang sangat intens membina umat, juga bergerak di dalam kegiatan politik kenegaraan sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

[26]Dosen UNISBA, da`i yang dikenal luas dan Ketua BAZNAS. Nama-nama tersebut hanya sekedar contoh yang sudah dikenal, masih banyak yang lainnya, namun tidak mungkin dituliskan satu persatu di sini.

[27]Bahkan ada kecenderungan munculnya pendakwah dan pengajar agama Islam yang bukan berasal dari kalangan sekolah agama, namun mendapat tempat yang penting bagi banyak kalangan yang mencari nilai-nilai kehidupan Islami. Mereka antara lain Ary Ginanjar dengan program ESQ, yang banyak memberikan kontribusi dalam membina kecerdasan mental spritual. Program ESQ telah banyak diikuti oleh berbagai pihak umumnya oleh kalangan menengah ke atas. Manfaatnya sangat dirasakan oleh mereka yang pernah mengikuti program ini. Bahkan ada dari kalangan menteri negara seperti Sugiharto, para pengusaha, orang terkenal, artis dll. Ada pula kursus shalat khusyu` yang digagas dan dikelola oleh orang yang bukan alumni sekolah agama, namun punya perhatian besar untuk mendalami, menyebarkan ajaran Islam dan tekun beribadah kepada Allah SWT.

Bila ditelaah lebih dalam, maka tepat apa yang diungkapkan para ahli hikmah bahwa hanya orang yang punyalah yang akan memberi “orang yang tidak punya tidak mungkin akan memberi” karena tidak ada yang diberikannya. Artinya, walaupun seseorang alumni sekolah agama tetapi tidak punya “pengalaman spiritual” yang memadai seiring dengan ilmunya itu maka orang tersebut sebenarnya “belum memiliki apa-apa” yang dapat diberikan kepada orang lain. Jika hanya sekedar mengetahui (ilmu agama) tentu bisa saja dibaca di buku-buku. Berbagai kitab dan buku itu telah banyak dijual di pasaran, bahkan tak terhitung jumlah judulnya, meliputi bahasan tentang aqidah, akhlak, tashawwuf, hukum dll. Namun sosok orang `alim pengamal ilmu, yang diberkahi Allah SWT karena kesalehannyalah yang amat dibutuhkan umat. Orang inilah yang dipandang pantas sebagai pemandu jalan mereka. Kebanyakan umat muslim merasa membutuhkan para pemandu itu, walaupun bukan dari alumni sekolah agama asalkan “dia telah memilikinya”.

Namun jika keadaan ini tidak “dibatasi” dan diatur dengan baik, suatu saat akan banyak muncul penceramah agama temporal, sekedar untuk ambil untung karena telah memilki kepopuleran sebagai artis, pemain sinetron, pelawak, selebritis dll. Dengan bermodalkan ilmu agama melalui bacaan-bacaan populer lalu menjadi penceramah agama. Bagaimanapun juga pendakwah haruslah alumni dari lembaga pendidikan agama Islam yang memenuhi syarat dan dapat dipertanggungjawabkan. Tidak jadi persoalan bila ia juga seorang yang ahli dalam bidang ilmu lainnya seperti: dia juga seorang dokter, insinyur, ekonom, dll (hal ini justeru memberikan nilai lebih baginya). Bila para alumni lembaga pendidikan agama Islam tidak atau kurang mendapatkan tempat di tengah umat muslim tentu ada yang mesti diperbaiki. Dalam rangka itu jugalah konsep ini ditulis.

[28]Kurang dipercaya akibat tidak terlihatnya si pendakwah sebagai orang yang lebih baik dari segi akhlak dan tidak punya kharisma, kurang kuat dalam ibadah dan dzikir sehingga tidak punya kemampuan untuk menyampaikan “rasa” kepada orang-orang yang diceramahinya. Begitu juga jika berdakwah hanyalah sekedar profesi untuk mencari nafkah semata, ini juga akan menyulitkan. Lebih-lebih lagi penceramah agama yang berprofesi sebagai pegawai atau pejabat birokrat di kantor-kantor Departemen Agama (yang sekarang sangat tajam mendapat sorotan), jika dia diketahui pernah korupsi uang negara, atau melakukan pungli, seperti yang banyak disorot saat ini, tentu tidak akan didengar orang apa yang disampaikannya. Orang seperti ini jika berceramah tak akan ada maknanya bagi umat. Sebab dirinya saja belum dapat dia didik apatalah lagi orang lain. Namun sebaliknya jika dia dikenal sebagai pejabat yang bersih, taat kepada ajaran agama, menentang segala perbuatan korupsi dan pungli walaupun dia digusur dari jabatannya karena kosekwennya itu, tentu akan sangat dihormati oleh umat muslim. Maknanya, sikap konsekwen seseorang dengan ilmu agama dan misi dakwah yang diembannya dalam hidup, menentukan derajat dan kemuliaannya di sisi Allah SWT dan di tengah umat muslim, bahkan di tengah masyarakat luas lainnya.

[29]Bukankah sebenarnya sosok para pemimpin seperti uraian di atas dapat dilahirkan asal diprogram untuk itu dan dilaksanakan bersama dengan penuh bertanggung jawab. Contoh lihatlah bagaimana para pemimpin birokrasi dan para perwira militer dilahirkan. Bukankah dengan menggunakan suatu sistem tertentu antara lain: adanya perekrutan, pendidikan (sep. AKABRI, STPDN, dan yang sejenis), pelatihan khusus kepemimpinan/perwira, pemberian tugas dan kewenangan, pengujian kemampuan, kesetiaan kepada korps/kesatuan dan loyalitas kepada negara, pemberian kepangkatan yang berjenjang dan jabatan. Akhirnya jadilah seseorang itu sebagai pejabat birokrasi, sipil atau militer seperti: lurah, camat, danramil, kapolsek, kepala kantor, sekretaris daerah, dekan, rektor atau sebagai pejabat negara seperti: bupati, walikota, gunernur, menteri atau panglima TNI, bahkan presiden, dll.

[30]Surau, secara harfiah diartikan oleh sebagian orang dengan makna tempat berkumpul dan menginap orang-orang yang tidak sedang terikat perkawinan (bujanganan, duda, atau orang terusir dari rumah bini/isterinya). Pada awalnya tiap suku memiliki surau tempat tidur para anggota mereka yang bujang atau duda. Sebab menurut kebiasaan masa itu, yang tidur di rumah hanyalah para wanita, anak-anak, orang yang mempunyai isteri atau laki-laki tua. Bila ada anak laki-laki yang sudah bujang tanggung masih tidur di rumah maka dia akan dicemoohkan dengan umpatan: “manyusu jo ang ka amak ang lai mangko tidua di rumah juo ang?!”. Setelah Islam masuk ke Minangkabau, terjadi perubahan penggunaan kata surau, tidak lagi menurut arti harfiahnya semula. Hampir sebagian besar masyarakat memahami kata “surau” sebagai bangunan yang dipergunakan untuk tempat berkumpul orang banyak dan dipergunakan sebagai tempat kegiatan baik menurut agama dan adat. Seperti, tempat berkumpul, tidur menginap orang bujang (atau orang yang diusir isterinya dari rumah dan duda), tempat belajar mengaji dan shalat, belajar adat (hanya sebagiannya), dan tujuan yang baik lainnya.

Pada umumnya surau memang tempat shalat dan belajar mengaji. Jika seseorang dikatakan sebagai urang surau, artinya orang tersebut adalah pandai mengaji dan tahu dengan aturan agama, bukan pandai petatah petitih atau bersilat. Kalaupun dia juga mahir dengan petatah petitih dan bersilat, maka hal itu hanyalah tambahan saja. (Lihat penggunaan yang paling lumrah terhadap kata “urang surau” dalam buku: Rusdi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. HAMKA, (Jakarta, Pusataka Panjimas, 1983), Cet ke. 2, h. 101-102.

Di daerah Parabek Bukittinggi, di sekitar Madrasah Sumatera Thawalib (yang didirikan oleh Inyiak Syekh Ibrahim Musa), terdapat beberapa surau. Gambaran dari surau tersebut ialah berupa asrama, memiliki kamar dan ada ruangan lepas yang dapat dijadikan tempat belajar bersama dan shalat berjamaah para penghuninya. Sampai tahun 1989, penulis masih melihat adanya surau Pariaman (yang diisi oleh para pelajar yang berasal dari kabupaten Padang Pariaman), surau Malalak, surau Parabek, dll. Tapi ada pula surau yang terletak di Parabek Ateh, yang bernama Surau Batu. Ia bukan tempat tidur bersama para pemuda dan pelajar atau asrama, tetapi (mushalla) tempat shalat berjamaahnya masyarakat Parabek Ateh yang tinggal agak jauh dari Masjid Jami` Parabek yang terletak di Parabek Bawah dekat Madrasah Sumatera Thawalib.

Di daerah Padang Pariaman juga banyak terdapat surau. Sebagiannya adalah surau yang didirikan oleh para tuangku (guru agama dan pengajar tarikat Syatariah). Mereka membangun suraunya masing-masing yang berbentuk mushalla, di sekelilingnya disediakan pula pondok-pondok tempat tingal para urang siak (mutafaqqih) atau disebut dengan kata pakiah (santri). Pakiah-pakiah tersebut belajar mengaji (ilmu alat, fikih, tafsir, hadis dan tarekat syatariah) kepada tuangku yang mendirikan surau tersebut. Mereka juga menggunakannya untuk shalat berjamaah (selain shalat jum`at), perayaan hari-hari penting keagamaan dan tempat silaturrahim. Acara-acara budaya yang sering dilakukan di surau antara lain: acara bamuluik (peringatan maulid Nabi Muhammad SAW), badikia, dll. Sebagian masyarakat juga menyebut masjid tempat shalat jum`at dengan nama surau gadang. Bagi kalangan penganut tarekat Naqsyabandi surau digunakan (di samping untuk shalat dan mengaji) untuk bersuluk.

Menurut adat Minangkabau sebuah pemukiman dapat menjadi daerah otonom sebagai nagari jika telah mempunyai struktur yang memadai, di antaranya ialah: babalai bamusajik (ada balai pertemuan adat dan ada masjid nagari), basuku banagari, bakorong bakampuang, bahuma babendang, balabuah batapian, basawah baladang, bahalaman bapamedanan dan bapandam bapusaro. Shalat jum`at di sebuah nagari hanya boleh dilaksanakan di masjid nagari (surau gadang), tidak boleh di sembarangan surau (mushalla). Untuk pelaksanaannya, nagari mempunyai tuanku qadhi atau lazim disebut dengan ungku kali (dahulu berfungsi sekaligus sebagai wali hakim untuk mengawinkan orang perempuan yang tidak punya wali). Dalam melaksanakan tugas memimpin agama dia dibantu oleh imam nagari dan khatib nagari serta dilengkapi dengan lebai dan bilal.

Di nagari yang sudah agak maju masyarakatnya akan memilih orang terbaik di antara mereka untuk menjadi imam dan khatib nagari. Orang yang diangkat menjadi imam dan khatib dipanggil dengan ungku imam dan ungku khatib. Pengangkatan imam nagari di daerah tertentu dilakukan dengan memilih orang-orang yang paling memenuhi syarat dan berakhlak baik, wara` dan harus selalu menjaga muruah; tidak boleh duduk di lepau tanpa maksud yang jelas, bergurau tak berujung pangkal, senantiasa menutup kepalanya dengan peci atau songkok putih. Pengukuhannya dilakukan dengan upacara khusus diiringi perjamuan helat dengan membantai seekor kerbau. Kedukukannya sebagai orang yang empat jinih di dalam nagari.

[31]Dalam al-Qur’an kata imam muncul tujuh kali dengan penggunaan yang berbeda. Pengertian kata imam dapat dilihat selengkapnya pada: Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, Menuju Jama`atul Muslimin Telaah Sistem Jama`ah Dalam Gerakan Islam, diterjemahkan oleh Ainur Rafiq Shaleh Tamhid dari al-Thariq ila Jama`at al-Muslimin, penyunting Abu Rodhi dan M. Fatchullah, (Jakarta: Rabbani Press, 1991), h. 108-110; Said Agil Husin Al-Munawwar dalam tulisannya Konsep Kepemimpinan Menurut al-Qur’an, menyimpulkan bahwa di dalam kitab-kitab fikih berdasarkan sejarah, penggunaan kata imam dipakaikan kepada “pemimpin shalat berjamaah”, pendiri mazhab”, dan “pemimpin umat”, lihat dalam: Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Masail al-Fiqhiyah, (Jakarta: UIN Press, 2003), h. 119-121. Dapat dilihat juga uraian yang amat bagus oleh Prof. Quraish Shihab, pada tajuk Al-Qur’an & Sunnah dengan judul Pemimpin dalam majalah UMMAT, No. 10 Thn. III, 22 September 1997/20 Jumadil Awal 1418 H, h. 63. Ibn Khaldun telah menyatakan bahwa ”Imamah shalat adalah yang paling tinggi di antara fungsi ini (fungsi khalifah) dan lebih tinggi di atas kepemimpinan raja…Khalifah-khalifah yang pertama tidak pernah menyerahkan tugas imam shalat kepada orang lain. …Kebiasaan ini dilanjutkan oleh para pemuka Daulah Bani Umayyah. Mereka mengimami shalat demi pertimbangan kehormatan mereka yang tertinggi….”Akhirnya, ketika watak kedaulatan, dan sifat-sifat keras dan perlakuan tidak seimbang terhadap rakyat dalam masalah agama dan dunia, membuat diri raja-raja merasa harus memilih orang yang menggantikan mereka sebagai imam shalat.” Lihat Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, penerjemah Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 265; Ibn Taymiyyah, menyatakan” Suatu yang wajar dan sunnah, bila seorang pemimpin (imam) shalat (bertugas langsung sebagai khatib) pastilah ia seorang panglima perang pula, yang mewakili sang penguasa dalam urusan kemeliteran. Oleh karena itu, ketika Rasulullah SAW menunjuk Abu Bakar r.a supaya menjadi imam shalat, kaum Muslim pun kemudian menunjuknya menjadi panglima perang dan juga memegang jabatan lainnya. Demikianlah kebiasaan yang diterapkan Rasulullah SAW dalam mengangkat para sahabat beliau untuk menduduki pos-pos tertentu, pastilah dia seorang imam dalam shalat. Misalnya, terhadap pengangkatan seorang gubernur, Uttab bin Ussiad sebagai gubernur Makkah, Utsman bin Abil Ash sebagai gubernur Thaif, Ali, Muaz dan Abu Musa masing-masing pernah menjadi gubernur di Yaman, demikian juga Amr bin Hazm yang diangkat Nabi SAW sebagai gubernur Najran. Para gubernur itu ialah orang yang menjadi imam shalat di antara para sahabat…” lihat: Siyasah Syar`iyah Etika Politik Islam, diterjemahkan oleh Rofi` Munawwar, dari al-Siyasah al-Syar`iyyah fi Ishlah al-Ra`iy wa al-Ra`iyyah, ( Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 19-20

Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah menyimpulkan bahwa tugas tertinggi seorang khalifah ialah mengimami shalat kaum muslimin di masjid jami` setiap waktu maktubah, lima kali sehari semalam. Setelah itu barulah memimpin pemerintahan, memimpin perang, melaksanakan penegakan hukum, memungut pajak dan lainnya. Ibnu Taymiyyah dalam al-Siyasat al-Syar`iyyah menegaskan, bahwa penegakan urusan shalat tersebut juga menjadi kewajiban bagi para amir (gubernur) dan para panglima perang. Oleh karena itu, shalat berjamaah di masjid jami`, diimami oleh pemimpin negara yang berkompeten menjadi imam, adalah shalat berjamaah yang paling baik, paling sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW dan atsar Khulafa’ al-Rasyidin.Bila pemimpin negara tidak memenuhi syarat kompetensi untuk menjadi imam shalat bagi kaum muslimin, maka hendaklah dia mengangkat orang-orang yang berkompeten untuk itu. Dia harus menjamin kaum muslimin yang berada di bawah kekuasaannya dapat shalat berjamaah setiap waktu di masjid jami` dengan baik dan aman. Itulah kewajibannya kepada Allah SWT dan kaum muslimin. Fungsi kepemimpin tertinggi yang melekat pada diri seorang khalifah (imām al-`uzhmā) ialah sebagai imam shalat kaum muslimin. Khalifah mestilah orang yang memiliki kompetensi atas keimamannya itu; terbaik dalam penguasaan terhadap al-Qur’an, sunah Nabi SAW. Dia memimpin umat shalat berjamaah menghadap Penguasa Alam Semesta dan membacakan firman-firman-Nya dalam proses “menghadap” itu. Penguasaan yang terbaik terhadap al-Qur’an dan Sunnah ditandai dengan kefasihannya dalam membaca dan paling banyak menghafal dan memahami ajaran yang terdapat dalam keduanya (afqahu) dibanding dengan orang lain. (Lihat aturan hukum dalam hal kompetensi keimaman dalam shalat menurut sunah Nabi SAW yang dibahas dalam kitab-kitab fikih, di antaranya lihat pada Abdurrahman Al-Jazairi, Fiqh Empat Madzhab, Bagian Ibadat Shalat, judul asli al-Fiqh `Ala al-Madzahib al-Arba`ah, diterjemahkan oleh Prof. H. Chatibul Umam dan Abu Hurairah, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1996), jilid 3, h. 100-110, (lihat juga keterangan tambahan yang penulis cantumkan tentang makna imam di dalam uraian berikutnya). Imam shalat pada bahasan kitab fikih lebih menitik beratkan kepada pelaksanaan ibadah shalat semata. Memang ada toleransi untuk mengabaikan syarat-syarat tertentu dalam hal keimaman, namun hanya dilakukan jika terjadi kondisi yang tidak ideal atau adanya keterbatasan. Sepanjang hal yang semestinya dapat terpenuhi, maka orang yang paling memenuhi syaratlah yang berhak menjadi imam

[32]Antara lain memiliki kriteria sebagai berikut: telah lulus program pendidikan pascasarjana sekurang-kurangnya stara dua (S.2) dalam konsentrasi hukum Islam (syari`ah) atau tafsir-hadis, berkepribadian lurus (hanif), kecerdasan, kemampuan membaca al-Qur’an yang fasih (qari’) dan menulis, kemampuan hafalan (hafizh), memiliki jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab yang baik. Di samping itu para imam akan dimutasikan secara berkala dari satu daerah ke daerah lainnya secara serentak, sekali lima tahun. Sehingga tidak terjadi pengkultusan kepada yang memiliki kelebihan di antara mereka oleh masyarakat. Para imam tidak dibenarkan menjadi pelaku politik praktis, tidak boleh secara terang-terangan memberikan dukungan terhadap partai politik, calon anggota DPR/DPD/DPRD, atau calon presiden dan calon kepala daerah tertentu. Mereka harus berdiri di atas semua golongan. Hanya saja para imam dapat memberikan nasehat berkaitan dengan persoalan pilihan-pilihan politik secara terbatas berupa prinsip-prinsip hukum Islam dan akhlak. Sehingga dengan taushiyyah tersebut umat muslim mendapat gambaran yang jernih dalam menentukan pilihan mereka, demi kepentingan umat dan syari`at Islam.

Di tiap masjid nagari di Minangkabau, biasanya diangkat seorang imam dan khatib, dilengkapi dengan bilal dan labai. Imam untuk memimpin shalat berjamaah, khatib untuk khutbah, bilal untuk adzan dan iqamah sedangkan labai untuk mengurus penyelenggaraan jenazah dan berdo`a. Hanya saja kedudukan itu biasanya dijabat secara turun temurun dari mamak (paman/saudara laki-laki dari ibu) ke kemenakannya (anak saudara wanita yang laki-laki). Walaupun untuk menjadi imam dan khatib itu harus memenuhi syrat-syaratnya, kadang kala masih terjadi di suatu nagari; imam nagari yang diangkat itu tidak memenuhi syarat imam, hanya sekedar pandai membaca dibibir saja, dan diangkat karena keturunan semata tanpa pertimbangan terhadap kompetensinya.

[33]Para imam karena tugasnya yang khusus dan mulia itu diwajibkan menggunakan pakaian khas (rasmiyah) agar mudah dikenal dan dapat memelihara muru’ah, yaitu berupa baju jubah putih (gamis hingga mata kaki) dan berserban (yang dililitkan sedikian rupa di kepalanya). Lihat dasar pemikirannya pada, Syekh Abd al-Wahhab Khallaf, `Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Fikr, 1978 M/1378 H.), h. 112, mandub terdiri dari tiga: mandub mathlub fi`luh, mandub masyru` fi`luh dan mandub za’id. Berkenaan dengan pakaian ini harus ada aturan khusus. Menurut sejarah, Nabi SAW memakai jubah dan berserban, cukup banyak keterangan hadis tentang hal ini. Penggunaan pakaian meniru kebiasaan insaniah Nabi SAW ini adalah untuk menunjukkan pengidolaan terhadap beliau oleh para tuanku imam, juga untuk menunjukkan kecintaan kepada beliau. Langkah meniru hal-hal yang bersifat insaniyah Nabi SAW seperti cara berpakaian, cara makan dan kebiasaan lumrah lainnya di dalam hukum digolongkan kepada mandub za’id. Tegasnya bukan meniru budaya Arab, tetapi karena pakaian itu pernah dipergunakan oleh Nabi SAW demikian juga oleh para ulama terkemuka pemimpin umat muslim. Artinya berjubah dan beserban tersebut bagi para ulama punya nilai historis dan unsur motivasi. Jika sejarah berkata bahwa Nabi Muhammad SAW dahulu memakai model yang lain maka pakain itu pulalah yang akan digunakan, hanya kenyataan sejarah bukan terjadi demikian.

Secara psikologis bentuk dan cara berpakaian sebenarnya punya pengaruh besar kepada pemakainya. Hal ini amat mudah dipahamai dan tidak perlu penjelasan yang terlalu panjang untuknya. Contoh saja para polisi dan tentara menggunakan pakaian khas mereka. Pakaian itu amat berpengaruh kepada mental mereka dalam melaksanakan tugas. Pada pakaian tersebut seakan terdapat lambang, atribut, loyalitas, eksistensi hukum dan kesatuan (korps).

Biasanya para ulama dahulu yang sudah tua-tua dan yang amat dihormati (seperti Inyiak Parabek, Inyiak Canduang dan Inyiak Jambek) memakai jubah dan serban. Buya HAMKA biasanya juga memakai jubah dan serban, paling kurang setiap kali beliau berkhutbah. Beliau memiliki beberapa jubah dan serban yang disiapkan dengan baik dan memakaianya dengan rapi Lihat: Rusdi Hamka, Ibid, h. 44-47, 101-102. Sedangkan para ustadz yang muda-muda pada masa itu umumnya belum berani memakai jubah dan serban, mereka umumnya memakai baju kemeja lengkap dengan jas, bersarung dan berpeci hitam. Mungkin takut kalau tidak mampu membawakan diri atau khawatir dicemoohkan orang (apalagi sebagian masyarakat punya kebiasaan suka mencemooh). Namun sekarang (tahun 2000-an ini) sebagian pendakwah terkenal, selain para habaib keturuan Arab, seperti KH. Abdullah Gymnastiar, dikenal dengan penampilannya yang hampir selalu memakai sorban, berbaju gamis atau koko dan sarung. Dan penampilan ini memberikan daya tarik tersendiri. Seakan memberikan kesan bahwa dia memang serius menjadi da`i.

Dari pengamatan penulis terhadap beberapa orang yang aktif dalam perkumpulan dakwah, dapat disimpulkan bahwa penggunaan gamis (jubah) dan serban memberikan dampak besar terhadap mereka yang memakainya untuk menunjang konsistensi mereka dalam penampilan. Jelas dengan pakaian demikan mereka lebih terdorong untuk menguasai diri, antara lain; seperti tidak memandang wanita yang berpapasan di jalan atau yang sama berada di atas mobil umum, tidak berbuat yang meruntuhkan muruah, berbicara lebih lembut dan tenang, dll. Mereka merasa malu untuk berbuat salah.

Namun pada intinya pakaian berjubah dan berserban itu dipilih karena punya nilai historis dengan umat muslim semenjak Nabi SAW hingga para ulama zaman belakangan, dapat memotifasi kepada kebaikan dan pemakainya mudah dikenali. Faktor inilah yang menjadi dasar pemilihan pakaian ini untuk para tuanku imam masjid. Persoalan bahwa ia berasal dari budaya Arab/Timur Tengah --bukan dari Eropah, Amerika, Afrika, Cina, Aborijin, Indian atau Papua-- itu masalah lain lagi.

[34]Pemimpin dapat lahir secara alamiah tanpa dipersiapkan secara khusus oleh pihak tertentu, tetapi karena bakat seseorang dan pengalamannya dalam menempuh hidup. Dia mampu mengajak dan mengorganisi orang lain, sehingga mayoritas komunitasnya memilihnya menjadi pemimpin mereka seperti Panglima Besar Jenderal Sudirman. Pemimpin juga dapat lahir melalui jenjang pendidikan yang diiringi dengan pemberian tugas dan tanggungjawab dalam masa tertentu sehingga terbukti kemampuannya, seperti para Jenderal TNI dan Polisi. Mereka terlahir dari pendidikan dan tugas, walaupun mereka tidak pernah mengikuti perang yang sebenarnya sebagaimana Panglima Besar Jenderal Sudirman. Namun mereka dapat juga jadi pemimpin TNI bahkan pemimpin nasional seperti Jenderal (Purn) Dr. Susilo Bambang Yodhoyono, presiden Republik Indonesia sekarang ini dan begitu juga dengan para panglima TNI lainnya. Namun pemimpin juga dapat lahir karena faktor keturunan, seperti para sultan dan raja-raja.

Artinya pemimpin dapat dilahirkan dengan jalan yang dipersiapkan dan terencana, diikuti dengan pemberian tugas dan tanggung jawab, amanah dan ujian. Setelah terbukti berkualitas maka dia dengan sendirinya akan diangkat oleh komunitasnya sebagai pemimpin. Bila kepemimpinannya tampak menonjol dan berprestasi baik maka komunitas lainpun akan menjadikannya juga sebagai pemimpin bersama. Begitu mislanya juga para rektor di perguruan tinggi, mereka adalah orang-orang yang diangkat jadi pemimpin karena prestasi akademiknya, menteri, kepala daerah, kepala dinas instansi, dll.

Berkenaan dengan para tuanku imam --menurut konsep ini--, ialah orang-orang yang disaring dengan klasifikasi tertentu, dididik, diberikan tugas dan amanah, diuji selama jangka waktu sekian tahun --yang cukup panjang-- untuk akhirnya diakui sebagai ulama pemimpin umat di masa depan. Bukankah hal seperti ini masuk akal untuk dilakukan. Dan langkah-langkah ini telah pernah dilakukan di Minangkabau bahkan sedang berjalan. Yaitu dengan adanya imam nagari, khatib nagari, labai dan bilal. Hanya saja perlu upaya peningkatan kompetensi dan fungsinya dengan merujuk kepada konsep keimaman yang sebenarnya menurut aturan sunnah Rasulullah SAW, tidak hanya sekedar mengimami shalat berjamaah. Imam harus sebagai pemimpin jamaah masjid (umat), da`i dan murabbiy (pendidik) bagi umat muslim.

Oleh karena itu pola pikir yang hanya mengharapkan munculnya ulama, tanpa membangun sistem untuk lahirnya ulama itu, adalah cara berpikir yang keliru. Sebab tanpa membentuk sistemnya tentu akan sulit harapan itu terwujud. Sebagaimana halnya kelahiran seorang bayi manusia. Tentu tidak mungkin adanya kelahiran yang berkualitas kalau tidak diadakan bibit unggulnya, lalu digodok sedemikian rupa, sehingga menjadi “`alaqah / janin”, lalu dipelihara di dalam kandungan agar tetap tumbuh dan sehat, kemudian dilahirkan, dan diaqiqahkan serta diberi nama yang bagus dan didoakan. Karena itu tidak mungkin secara tiba-tiba muncul saja anak manusia tanpa ada proses pembuahan, kehamilan ibunya dan kelahirannya. Begitu juga munculnya ulama yang akan memimpin masyarakat muslim, harus melewati suatu proses. Proses itu memungkinkan untuk diusahakan, karena potensi ke arah itu sebenarnya cukup banyak dan mendukung. Hanya tinggal melakukan perencanaan yang matang, pelaksanaan yang benar, dukungan dari semua pihak, insya Allah akan tercapai.

[35]Lihat Q.S: [3:110]

[36]Segala yang bertujuan mengajak orang kepada kebaikan seperti penyelenggaraan pendidikan, pembinaan pemuda dan remaja masjid, pernikahan yang Islami, sistem perbankan dan keuangan yang menurut aturan syari`ah, upaya menjalin persaudaraan seiman dan silaturrahim adalah termasuk amar ma`ruf. Demikian juga sebaliknya, nahyi mungkar adalah berarti upaya untuk mengantisipasi agar hal-hal tercela dan maksiat tidak terjadi dan tidak menyebar, maka sebenarnya amar makruf itu sendiri sudah bagian dari nahyi mungkar. Walaupun begitu bila suatu saat masyarakat muslim sudah kuat, maka nahyi mungkar dapat dilakukan dengan cara yang lebih tegas dan konrit, termasuk pemberian sanksi hukum terhadap para pelaku kemaksiatan. Bila sudah pada taraf penegakan hukum jelas tidak terlepas dari tanggung jawab pemerintah. Namun masyarakat muslim dapat memberikan bantuan dan daya tekan untuk itu, agar pemberantasan terhadap pelaku dan kegiatan kemunkaran benar-benar dilaksanakan secara serius oleh aparat penegak hukum.

[37]Materi pendidikan tarbiyah ini biasanya meliputi: Ma`rifatullah, Ma`rifatu Rasulillah, Ma`rifat al-Islam, Ma`rifat al-Qur’an, Ma`na Syahadah, Ma`rifat al-Insan, Ma`rifat Ayatillah al-Kauniyyah (Paket tentang Keajaiban Penciptaan Alam, oleh Harun Yahya), dll. Untuk memudahkan gambarannya, materi paket ini dapat dirujuk kepada buku-buku Seri Materi Tarbiyyah susunan Cahyadi Takariawan dkk, Seri Pendidikan Islam Panduan Bagi Da`i dan Murabbi susunan Dr. H. Irwan Prayitno, M.Sc, buku al-Islam susunan Sa`id Hawwa, dll. Penulis menyimpulkan bahwa materi tarbiyah tersebut sarat dengan dasar-dasar orisinil al-Qur’an dan Sunah Nabi SAW, sehingga memberikan pengaruh kepada pola pikir, kejiwaan dan qalbu. Keberhasilan dakwah yang sekarang tampak hampir merata di permukaan sebagian besar dimulai dengan pendidikan dalam bentuk metode tarbiyah dengan sistem halaqah (grup) yang berkesinambungan. Sehingga menghasilkan para pemuda muslim yang kuat berakidah, taat kepada Allah, banyak beribadah, dan cerdas. Walaupun mereka kuliah di fakultas teknik, kedokteran, pertanian dan sebagainya, namun tampak bagaikan santri yang saleh dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu faktor penting yang berpengaruh besar dalam hal ini ialah bahwa antara da`i (guru) dan murid terjalin ukhuwah Islamiyah yang kuat serta rasa saling bertanggung jawab atas peranan masing-masing dalam rangka Islamiyah al-Hayah (Islamisasi Diri dan masyarakat). Tidak ada cara yang paling tepat untuk memperbaiki kondisi keterpurukan umat muslim ini selain dengan cara bergotong- royong dengan rapi (ta`awun `ala al-birr wa al-taqwa) dan teratur dalam upaya menyadarkan umat tentang ajaran Islam yang benar (menurut al-Qur`an dan Sunnah Rasulillah SAW), membangun akhlak yang mulia, mengikat tali persaudaraan Islamiyah dan dapat saling bertoleransi dengan fihak non muslim namun tetap dalam kewaspadaan yang memadai dengan menghormati prinsip-prinsip `aqidah Islamiyah.

[39]Lihat uraian lebih lengkap pada: Syekh Muhammad al-Ghazaliy, Fiqhus Sirah – Menghayati Nilai-Nilai Riwayat Hidup Muhammad Rasulullah SAW, diterjemahkan oleh Abu Laila dan Muhammad Tohir dari judul aslinya: Fiqh al-Sirah, (Bandung: PT. Alma`arif, t.th.), Cet. ke-2, h. 303-307. Lihat juga pada: Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A., Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), h. 80.

[40]Masjid berkembang jumlahnya seiring dengan berkembangan umat muslim ke seluruh pelosok bumi. Pada suatu saat kemudian, masjid-masjid diberi klafikasi berdasarkan posisi dan besarnya di mata penguasa atau masyarakat. Seperti masjid jami` shulthan, masjid agung, masjid raya, masjid nagari, dan masjid umum di perkampungan atau masjid keci-kecil (mushalla menurut penamaan masyarakat muslim Indonesia). Masjid jami` berfungsi sebagai masjid tempat penyelenggaraan jum`at yang berada di pusat wilayah masyarakat tertentu. Sedangkan yang bukan masjid jami` tidak melaksanakan shalat jum`at. Namun hal ini mengalami perubahan seiring berubahnya pola pemahaman dan kepentingan masyarakat. Masjid-masjid komplek perkantoranpun sekarang melaksanakan shalat jum`at. Namun tanpa adanya “imam tetap masjid” yang berkompetensi yang dapat memberikan pendidikan, bimbingan spiritual keagamaan maka masjid tak obahnya hanya sebagai tempat singgah sewaktu shalat saja, bukan basis pergerakan bagi pembangunan umat muslim.

[41]Kasus ini tidak banyak terjadi, tetapi walau bagaimanapun tetap harus dihindari. Contohnya masjid yang ditutup setiap harinya dan baru dibuka hanya untuk shalat jum`at. Atau masjid yang digunakan untuk kegiatan berbau syirik, bid`ah, atau perjamuan, makan-makan bersama seperti yang terjadi di beberapa kampung-kampung, namun ketika waktu shalat tidak didirikan shalat berjamaah.

[42]Pelaksana akreditasi masjid sebaiknya dilakukan oleh Tim Akreditasi Masjid dan Sarana Ibadah - Dewan Masjid Indonseia oleh tenaga-tenaga yang ahli dan berkompetens dalam hal ini. Akreditasi dilakukan untuk jangka waktu tertentu, seperti 2005 sd. 2010. Bila sesudah itu terjadi perbaikan atau sebaliknya maka nilai akreditasi akan merubah menurut perubahan unsur-unsur yang dinilai itu. Untuk memudahkan pelaksanaan tugas akreditasi sebaiknya Dewan Masjid Indonesia menggunakan tenaga pegawai Kantor Departemen Agama (yang membidangi kemasjidan) melalui penugasan pimpinannya ditambah dengan anggota tim Dewan Masjid sendiri.

[43]Tempat buang air (MCK) harus memenuhi kaidah hukum, antara lain tidak terbuka yang dapat menyebabkan saling melihat aurat antara sesama pemakai tempat. Batas antara tempat buang air kecil mesti cukup tinggi. Jatuhnya air kran tidak boleh tepat di saluran air buang air kecil karena akan menimbulkan percikan air najis (buang air kecil ) yang mengalir padanya kepada pakaian atau celana seseorang, apalgi kalau dia buang air kecil dengan posisi jongkok. Keadaan seperti ini banyak terjadi, tempat buang air kecil yang baik ialah seperti yang dibangun di Masjid Taqwa Muhammadiyyah Padang.

[44]Dengan adanya akreditasi, maka masjid-masjid akan tergolongkan kepada kelas-kelas tertentu, yang bertujuan mengarahkan masyarakat atau badan pengelolanya untuk memperbaiki suasana dan sarana masjid yang pokok dan penting agar mengacu kepada standar syari`at. Bahkan bila ada kesalahan yang prinsip seperti salahnya arah kiblat maka perlu diperbaiki. Pengelola atau pengurus masjid hendaknya tidak menghabiskan biaya untuk hal-hal yang tidak perlu. Hal-hal yang tidak perlu itu misalnya: bermegah-megah, pembelian karpet yang bergambar-gambar dan penuh warna-warni (padahal ini dilarang oleh Rasulullah SAW), pengkeramikan atau pemberian batu pualam yang mahal dan berlebihan, pengadaan hiasan-hiasan yang tidak relefan seperti lampu warna-warni buatan Eropah, profil-profil dinding yang berlebihan, (kecuali penulisan ayat-ayat al-Qur’an di dinding bagian atas semata / khat indah yang tidak berlebihan, sebagai sarana peringatan kepada jamaah atas pentingnya hukum yang terdapat dalam ayat tersebut), dan lain-lain.

[45]Tingkat akreditasi masjid dapat berupa: tak dinilai (TDK NL), amat kurang (AK), kurang (KR), cukup (C), baik (B), amat baik (AB), sempurna (SPN) dan istimewa (ISTIMEWA). Nilai akreditasi ditempel pada plang nama masjid, di sudut kanan atas dalam bentuk singkatan (kecuali istimewa ditulis lengkap). Sistem pemberian nilai berdasarkan kenyataan yang ada, dan standar nilainya diberitahukan secara terbuka (transparan). Metode yang digunakan ialah patokan nilai 100 dalam tingkatan sempurna, lalu dikurangkan jika terdapat unsur yang salah (kiblat tidak benar dikurangi hingga 50 skor yang dihitung menurut besarnya kesalahan penyimpangan derajat kemiringannya). Jika satu sub penilaian diberikan skor kurang baik maka terjadi pengurangan nilai 0,5 dan jika skornya kurang baik perlu perhatian dan perbaikan ( 1 ), dst. Jumlah total nilai sisa, menjadi nilai akhir.

Penilaian bangunan masjid antara lain: (1. betulnya arah kiblat, (2. tidak ada kuburan di bagian mihrab atau disebelah luar dindingnya yang ke arah kiblat, (3. tempat mck bukan di arah kiblat, (4. jarak masjid dari mck lebih dari 10 m, (5. tidak di dekat pembuangan sampah akhir [paling kurang berjarak 200 m], (6. tidak di tempat yang berbau busuk atau menyengat, (7. sirkulasi udara baik, (8. penerangan baik, (9. kebersihan tempat shalat terjaga, (10. kebersihan ruangan seluruhnya terpelihara, (11. dibuatkan jalan khusus dari tempat berwudhuk ke ruangan masjid sedemikian rupa agar terjaga kebersihannya dan tidak diinjak oleh pemakai sandal (seperti di masjid Inyiak Parabek Bukittinggi dibuatkan titian berupa peninggian lantai 10 cm dan selebar keramik [25 cm] untuk tempat lewat orang yang tidak memakai sandal dari tempat berwudhuk ke masjid). Untuk mencapai nilai sempurna masjid disyaratkan memiliki ruangan kelas (untuk belajar) dan asrama untuk para pelajar yang mengikuti pendidikan “pesantren masjid” (pa-surau-an).

Penghitungan nilai termasuk juga akreditasi mck antara lain: mck laki-laki dengan wanita terpisah, antara tempat buang air dibatas agar tidak saling terlihat aurat, jatuhnya air kran tidak menyebabkan percikan air kotor kepada pemakainya (seperti jatuhnya air kran tepat di tengah lewatnya air kencing yang pasti berakibat terperciknya air kencing yang mengalir itu kepada orang yang ada di sana apalagi jika buang air kecil dalam posisi jongkok), sistem pembuangan air kotor dan tinja baik, dll. Metode penghitungan dan akreditasi ini membutuhkan konsep tersendiri.

[46]Seharusnya, Dewan Masjid Indonesia atau yang sejenisnya, mempunyai kewenangan untuk ini dan mengerjakannya, karena ada juga keuangan masjid yang diselewengkan oleh oknum-oknum tertentu.

[47]Dari keterangan sumber-sumber yang berkompeten, baik sebagai hasil penelitian maupun kenyataan yang dilihat langsung dilapangan, ternyata masih banyak bangunan masjid atau mushalla yang tidak memenuhi syarat menghadap kiblat dengan benar, dibangun berdekatan dengan pembuangan sampah, dekat dengan jalan raya yang hiruk pikuk, dll.

[48]Sahun, artinya melalaikan atau meremehkan. Kesalahan yang paling sering terjadi ialah bahwa kebanyakan orang mengartikannya dengan makna “melambatkan melaksanakan shalat” baik dalam jangka rentang waktunya atau setelah habis waktunya. Padahal persoalan waktu hanyalah salah satu syarat shah shalat, masih banyak syarat yang lainnya yang wajib dipenuhi di samping rukun-rukunnya. Jadi pengertian yang benar dari kata sahun ialah bahwa seseorang lalai dari memenuhi rukun dan syarat shalatnya, tidak memahami ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan dalam shalatnya secara benar pada hal dia sanggup untuk mempelajarinya. Pengertian ini kemudian dapat diperluas kepada makna tidak konsekwennya seseorang yang menunaikan shalat terhadap tindakan dan ikrar-ikrar yang diucapkannya di dalam shalat tersebut dengan tingkah lakunya di luar shalat. Hal ini amat dicela berdasarkan Q.S: [61:2-3]. Lihat tafsir al-Maraghiy tentang hal ini pada bahasan surat al-Ma`un.

Dari pengertian melalaikan dan menganggap remeh itu barangkali faktor tidak memenuhi syarat menghadap kiblat dengan benar juga termasuk ke dalam melalaikan shalat. Termasuk juga membiarkan orang yang tidak pantas menjadi imam (yang bacaannya masih salah). Kesalahan dalam membaca ayat; bertukar huruf, panjang pedek bunyi yang tidak tepat, dan seluruh yang berkaitan dengan makharij huruf dan tajwid yang salah, yang berakibat berubahnya makna. Semua itu termasuk juga perbuatan yang melalaikan dan menganggap enteng shalat.

Coba bayangkan, untuk menjadi pelaksana upacara bendera peringatan HUT kemerdekaan yang di daerah saja, apalagi di istana negara, para pelaksana upacara harus dilatih melakukan gerakan atau membaca teks dengan benar dan bagus. Pada hal upacara itu hanyalah acara seremonial belaka, bukan ibadah mahdhah, tidak menentukan bagi keselamatan hidup dunia dan akhirat seseorang. Sedangkan pelaksanaan shalat sangat menentukan keselamatan hidup dunia dan akhirat seseorang bahkan lebih tinggi dari persoalan hidup dan mati. Oleh karena itu pelatihan dan pendidikan penguasan tata cara pelaksanaan dan pemahaman terhadap shalat yang benar mutlak diperlukan oleh seluruh umat muslim, apalagi yang sudah dewasa dan lansia. Bagi mereka ini mempelajari shalat yang benar dan sempurna sudah merupakan kewajiban yang amat mendesak, tak mungkin ada lagi ditunda-tunda, kalau ingin selamat dari neraka. Kalau tidak masih juga tidak menyadari hal ini, ya sudah.

[49]Kesimpulan ini dapat diperoleh seperti dari hasil perbandingan antara sosok Buya Hamka dengan Prof. Dr. Harun Nasution (mantan rektor IAIN Jakarta). Tidak diragukan lagi bahwa ilmu Prof. Harun Nasution sangatlah dalam, jarang tandingannya, ia diketahui sebagai orang yang saleh dan taat. Banyak murid-muridnya yang telah menjadi Profesor di Indonesia hingga saat ini. Tapi sosoknya sangat berbeda dengan Buya Hamka. Umumnya masyarakat muslim di Indonesia memandang Buya Hamka sebagai ulama dan pemimpin. Sedangkan Prof. Harun Nasution sebagai dosen di IAIN semata. Jadi bagi masyarakat banyakpun, ulama tersebut bukan sekedar berilmu tinggi saja, lebih dari itu ia mestilah seorang pelaku perjuangan dakwah (dengan ilmunya yang tinggi itu) ke tengah masyarakat luas untuk membawa umat (dari segala tingkatan) kepada kehidupan yang taat menjalankan agama Islam (ilmun yuntafa`u bih). Ini dapat dipandang sebagai hukum sunatullah bagi orang-orang yang berilmu.

Kebalikan dari di atas, ada orang-orang yang sangat aktif memberikan ceramah di berbagai tempat. Cara bicaranya menarik dan memukau, sehingga jadwal ceramahnya banyak dan padat, telah penuh untuk lima tahun ke depan. Dia dikontrak untuk memberikan ceramah agama di berbagai radio dan televisi. Padahal secara keilmuan sebenarnya dia bukan tergolong `alim. Tidak ada bukti bahwa dia memang menguasai ilmu agama, atau adanya pengakuan kompetensi keilmuan yang dimilikinya dalam pokok-pokok ilmu keIslaman. Hal itu akan terlihat dengan kurangnya dia menguasai ilmu alat, yang menjadi syarat utama hanya untuk tahap mendaftar sebagai pelajar di lembaga tinggi pendidikan agama (apalagi jika mau sekolah di al-Azhar Kairo, di Madinah dan yang sejenisnya). Namun dia dipandang ulama karena kiprahnya dalam dunia ceramah agama cukup terkenal. Hal ini juga harus diluruskan. Bila seseorang telah diterima sebagai penceramah seperti ini, maka ia harus secepatnya mempelajari ilmu agama Islam dengan ilmu alatnya secara intensif, agar ia jangan sampai salah melangkah di masa berikutnya. Masyarakat juga harus tahu mana yang ulama, mana yang penceramah, pensenandung atau mana yang tukang hibur dan selebritis.

Karena itulah, orang-orang yang berkompetensi dalam ilmu agama Islam, harus mampu terjun ke gelanggang dakwah. Agar posisi itu tidak diisi oleh orang-orang yang tidak tepat, jika tidak akan terjadi kekacauan pemahaman keagamaan. Konsep keimaman masjid ini adalah dalam rangka menerjunkan orang-orang yang berkompeten itu. Bila terjun sendiri-sendiri mungkin banyak kendala, maka diterjunkan dengan suatu tim untuk program besar, tentunya harus dengan dukungan yang konkrit dari pemerintah (kalau perlu dibuatkan Perda-nya) dan masyarakat luas. Perguruan tinggi agama Islam dalam hal ini hendaknya secara aktif bertanggungjawab langsung untuk mempersiapkannya pendidikan dan latihannya dengan koordinasi yang kuat bersama MUI Sumatera Barat.

[50]Sedangkan orang yang berilmu tapi tidak membina umat berarti tidak mewarisi fungsi para nabi tersebut. Mereka dipandang hanyalah sebagai tenaga kerja (pegawai) yang berprofesi sebagai pentransfer ilmu pengetahuan agama belaka. Memang untuk terjun langsung ke tengan umat muslim sebagai penyeru ke jalan Allah SWT bukanlah pekerjaan gampang, ia bisa lebih sulit dari menghapal rumusan-rumusan kitab dan buku-buku. Banyak resiko yang mungkin akan dihadapi. Namun besar ganjaran kebaikannya di sisi Allah SWT.

[51]Kata imam masjid berarti imam tetap yang diangkat di suatu masjid. Kata imam shalat berarti orang yang mengimami shalat, namun imam shalat tidak berarti imam tetap masjid, bisa saja dia hanya imam tidak tetap, sementara, atau hanya sewaktu-waktu saja menjadi imam shalat. Bahkan orang yang baru pertama kali menjadi imam dalam shalat berjamaah dapat dikatakan sebagai imam shalat untuk shalat berjamaah yang dilakukannya ketika itu.

[52]Gelar penghormatan ini adalah uruf yang shalihah atau adat yang ma`ruf dan tidak melebihi batas hukum syara`, sebagaimana gelar khalifah, amirul mu’minin, imam al-`uzhma. Di daerah Nusa Tenggara Barat di gunakan gelar Tuan Guru, di Jawa digunakan Kiyai Haji. Bila diterima program “Reaktualisasi dan Revitalisasi Lembaga Keimaman…” ini secara nasional, penulis mengusulkan untuk pengunaan gelar tuanku imam ini baik di Sumatera Barat sendiri ataupun secara nasional. Gelar tuanku dipergunakan dalam masyarakat Minangkabau untuk menghormati antara lain: pemimpin wilayah, ulama atau guru agama Islam yang terkemuka. Hal ini juga tampak dalam struktur kerajaan di Minangkabau, setelah raja Pagaruyung masuk Islam tahun 1560 M, maka Raja Pagaruyung (Raja Alif) mengubah struktur pembagian kekuasan kerajaan menjadi raja tiga sila (raja alam di Pagaruyung, raja adat di Buo dan raja ibadat di Sumpurkudus). Dari tiga pemimpin kerajaan Minangkabau itu salah satunya ada raja ibadat, yakni pemimpin yang mengatur masalah agama dan peribadatan umat muslim di Minagkabau, sayangnya tidak penulis temukan konsep tugasnya dan wewenangnya yang konkrit. Sedangkan para pemuka agama Islam atau ulama dipanggil dengan sebutan tuanku, seperti Tuanku Tuo di Cangking, Tuanku Mansiangan, Tuanku Lintau, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Tambusai, Tuanku Padang Lua dan Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Imam Bonjol menyandang gelar imam karena menurut sejarah beliau adalah imam masjid di Bonjol dan guru agama Islam. Lihat juga keterangan tentang penggunaan gelar ini pada: A.A Navis, ibid., h. 29-38. Di kerajaan Mataram Islam (Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta) untuk Raja/Sultan dipergunakan gelar Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun (baginda yang dipertuan dan ditaati) Senapati Hing Ngaloga (panglima tertinggi angkatan perang) Sayidin Panatagama Kalipatulah (artinya khalifah pemimpin pengatur agama). Penghulu Ageng (agung) atau Kanjeng Penghulu yakni jabatan setingkat Menteri Negara pelaksana fungsi Panatagama, Penghulu yakni kepala keagamaan tingkat kabupaten, Penghulu Naib yakni kepala keagamaan tingkat kewedanaan. Pada tingkat desa dikenal jabatan: Modin (berasal dari kata muadzin), Lebe, Kayim (qayyimush shalah), Amil dll. Untuk menjamin terselenggaranya ibadah shalat jum`at di wilayah kerajaan (menurut syarat mazhab Syafi`i) maka negara mengangkat 40 orang “punggawa masjid” (pegawai). Mereka diikat untuk bertugas di masjid (marbuth lil masjid) yang dikenal dengan istilah “marbot”, dan mereka mendapat gaji dari negara ditambah dengan jatah tanah jabatan (ambtserven, bld.) di sekitar masjid. Komplek masjid, tempat tinggal para marbot dan tanah-tanah jabatan tersebut menjadi perkampungan yang disebut Kauman atau Perkauman (berasal dari qawwaman li shalah artinya orang-orang pendiri/pelaksana shalat). Lihat selengkapnya pada tulisan: H. Zaini Ahmad Noeh, dalam Depertemen Agama dan Latar Belakang Sejarahnya, pada Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama, (Jakarta: Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Depag RI., 1979), h. 28-42. Bila dibandingkan dengan konsep kauman tersebut, maka konsep masyarakat berbasis masjid yang dituangkan dalam makalah ini sebenarnya tidaklah asing. Memang antara gagasan MMBM ini tidak persis sama dengan Kauman tersebut. Karena ada tujuan dan misi yang lebih besar digagas dalam konsep MMBM ini. Namun dengan mendapatkan tulisan H. zainal Noeh yang dikutipnya dari Prof. Ter Haar di atas, penulis mendapatkan bahan pendukung yang cukup untuk mempertahankan gagasan MMBM ini.

[53]Pengkaderan ulama bukanlah jalan yang mustahil, hal ini dapat dilihat pada tradisi kalangan Nahdhatul Ulama (NU) dalam mengkader generasi mereka yang dididik di pesantren lalu dimanahkan untuk memimpinnya. Karena adanya kedudukan khusus bagi para kiyai pesantren di mata umat dan adanya jaminan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan finansialnnya maka tokoh-tokoh ulama secara bergenerasi dapat dilahirkan, karena itu ulama untuk tradisi NU tidaklah termasuk “langka”. Berbeda dengan kalangan Persyarikatan Muhammadiyyah sekarang, yang cenderung tidak memposisikan ulama secara khusus, mungkin akibat terlalu kuat berpegang kepada prinsip egaliter yang berakibat tidak memposisikan kalangan ulama lebih dari yang lainnya. Atau mungkin karena tidak punya jalur khusus untuk mengkader ulama, kecuali hanya mengharapkan anggota-anggotanya yang pernah mengecap pendidikan tinggi Islam atau para dosen IAIN untuk melakukan tugas keulamaan itu bila diperlukan. Itupun hanya lebih cenderung untuk mengurus hal-hal yang berisifat pengkajian dan penalaran semata. Padahal kegiatan pengkajian dan penalaran itu hanyalah “makanan” bagi kalangan intelektual tertentu saja yang jumlahnya tidak seberapa. Namun karena tidak tertata sedemikian rupa maka kerap dirasakan kelangkaan ulama tersebut, apalagi berkaitan dengan sosok yang mampu berperan sebagai “penasehat spiritual” atau pembimbing kerohanian bagi mereka. Lihat lebih lanjut pendapat: Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., Menuju Masyarakat Madani, Gagasan Fakta dan Tantangan, editor Idris Thaha, (Bandung: Rosdakarya, 1999), h. 118-119

[54]Dalam kenyataan sejarah umat Islam, para ulama pembimbing umat yang menyebarkan misi dakwah dan pendidikan Islam memang hanya melaksanakan tugas dakwah dan pendidikan sebagai kegiatan pokok mereka. Walaupun demikian sebagian dari mereka disebabkan adanya kebutuhan, potensi dan kesempatan, ada yang melakukan usaha lainnya seperti pertanian dan perdagangan, atau bahkan ada yang berkedudukan sebagai khalifah (seperti para khalifah al-Rasyidun dan `Umar ibn `Abd al-`Aziz), pemimpin perang (Imam Taqiyyuddin Ibn Taymiyyah) atau pejabat kerajaan lainnya. Terlepas dari kedudukan mereka itu, pada pokoknya tugas ulama ialah memperdalam pemahamannya terhadap ayat-ayat Allah dan Sunah Rasul-Nya mengamalkannya dalam kehidupan serta mengajarkannya kepada umat muslim lainnya, baik dalam keadaan senang maupun susah. Sehingga ilmu tersebut mempunyai daya guna atau yuntafa` bih. Berkaitan dengan jabatan kekhalifahan yang pertama, para sahabat Rasulullah SAW sepakat mengangkat khalifah berdasarkan kompetensi kefaqihan dan keimaman Abu Bakar dalam shalat. Oleh karena itu tidak seluruh yang berstatus sahabat Nabi menjadi calon khalifah, mereka teguh memegang prinsip ini. Dan oleh karena itu tidak seluruh sahabat menduduki posisi kepemimpinan dalam negara.

[55]Berkenaan dengan padatnya kegiatan imam masjid (tuanku imam) maka kesehatannya (termasuk jaminan asuransi kesehatan, perawatan ke Rumah Sakit) juga perlu diberikan. Begitu juga kesempatan berolah raga, seperti senam pernafasan, maraton, dan olah raga yang sesuai, sebatas hal-hal yang tidak menurunkan muruahnya. Dianjurkan juga di perkarangan masjid di buatkan apotik hidup yang terdiri dari tumbuh-tumbuhan (herbal) yang bermanfaat untuk kesehatan.

[56]Biaya hidupnya dan keluarganya dijamin dengan gaji, tunjangan keluarga dan pendidikan yang mencukupi, begitu juga dan pensiunnya. Dengan adanya jaminan perumahan yang sehat dan layak yang berada di sekitar masjid tempat dia ditugaskan. Untuk konsep ini perlu sebuah kajian yang agak teknis dan mendalam. Penulis juga tengah menyiapkan sebuah konsep tentang Lembaga Peningkatan Produktifitas Harta Wakaf dan Harta Abadi Umat Muslim untuk menjamin gaji dan tunjangan para tuanku imam. Bila pemerintah dapat menyediakan lahan tranmigrasi ribuan hektar, maka diharapkan dapat pula disediakan tanah wakaf untuk perkebunan sawit, kakao, pinang, kemiri dll, yang dapat menghasilkan untuk jangka bertahun-tahun. Dan dikelola oleh sebuah yayasan dan perusahaan (PT).

[57]Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Penggunaan ini hanyalah sebuah tindakan untuk mambangkik batang tarandam, yang seharusnya sudah sejak dahulu dilaksanakan. Pemurnian ajaran Islam di Minangkabau adalah buah hasil dari perjuangan Kaum Paderi yang dipimpin oleh para tuanku, dengan menghasilkan tunduknya kaum adat (kaum nasionalis yang menetang misi dakwah ini) untuk kemudiannya menerima dasar perikehidupan Minangkabau Bersyari`at, dalam kaidah hukum adat basandi syara’ - syara’ basandi kitabullah, syara’ mangato - adat mamakai .

[58]Tuanku Imam hanya diadakan untuk masjid-masjid yang terakreditasi dengan nilai amat baik atau lebih. Tidak semua masjid atau mushalla diprogramkan mempunyai tuanku imam. Masjid atau mushalla selain itu untuk sementara hanya akan diberikan layanan pembinaan keimaman dll.

[59]Gambaran sederhana dari sosok dan fungsi tuanku imam ini dapat dilihat pada kegiatan Buya Hamka dalam membina jamaah masjid Agung al-Azhar tahun 60-an sebelum beliau ditangkap oleh rezim Soekarno yang ketika itu sangat intim dengan PKI. Lihat buku karangan Rusdi Hamka, ibid, h. 165-171. Organisasi Islam Internasional yang berpusat di Timur Tengah biasanya mengirin para juru dakwah ke Amerika atau Eropah menjadi imam masjid. Dengan fungsinya sebagai imam masjid itu, para da`i yang pada umumnya berpendidikan doktor dalam agama Islam dan hafizh tersebut menjalankan misi dakwah dan pendidikan umat, termasuk membina para mua’allaf, dan kegiatan ibadah sosial lainnya. Begitu juga di daerah Minangkabau pada tiap nagari mempunyai imam nagari hanya saja kompetensinya tidak begitu terkontrol dan tugasnya tidak terlalu menonjol. Di Malaysia masjid mempunyai imam tetap meniru pelaksanaan di Arab Saudi. Mereka adalah pegawai kerajaan, ditugaskan dan digaji oleh negara.

Dalam konsep penulis ini imam masjid (tuanku imam) merupakan gambaram dari memfungsikan orang yang berkompeten menjadi imam, dengan tugas dakwah dan pendidikan umat, memimpin jamaah masjid, membentuk masyarakat muslim berbasis masjid, sekaligus sebagai persiapan bagi yang bersangkutan untuk menjadi ulama di masa depan. Oleh karena itu kepribadian yang shalih, tingkat pendidikan dan kemampuan sebagai hafizh, imam, da`i dan pemimpin umat amat ditekankan pada sosok tuanku imam. Mereka bukanlah orang-orang yang bermental birokrat semata, tetapi pemimpin yang dekat dengan umat (sesuai dengan konsep kepemimpinan yang ra`in). Penampilan merekapun amat diperhatikan, selain ramah, bersih rapi dan memelihara muruah diri, juga dengan selalu mengunakan pakaian resmi keimaman yakni berjubah putih dan kepala yang tutup dengan songkok dan dililit dengan serban. Perlu juga dilakukan pemberian bantuan atau tunjangan haji bagi mereka, agar mereka dapat menunaikan ibadah haji.

[60]Dzikir dalam arti khusus ialah menyebut nama-nama Allah dan keagungan-Nya, seperti membaca tahlil, tasbih, tahmid dan takbir. Dzikir dapat dilakukan secara perorangan, berjamaah yang dipimpin salah seorang pesertanya atau oleh imam. Dzikir yang terbesar (akbar) adalah shalat, lalu membaca al-Qur’an, lihat Q.S: [29:45]

[61]I`tiqaf yaitu berdiam di masjid dalam keadaan suci dari hadas besar dan kecil dengan niat ibadah.

[62]Ruqyah syar`iyyah ialah terapi khusus berupa pembacaan ayat-ayat al-Qur’an dengan benar dan do`a-do`a yang ma’tsur (terdapat dalam sunah Nabi SAW) oleh orang yang ahli dan saleh terhadap orang yang menderita kesurupan atau penyakit akibat sihir, guna-guna atau gangguan makhluk halus (jin). Dengan pembacaan ayat dan do`a tersebut insya Allah pasien yang diterapi itu dapat sembuh.

[63]Lihat uraian yang lengkap dan relefan dengan ini pada: `Abdurrahman an-Nahlawi , Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga dan di Masyarakat, diterjemahkan oleh Herry Noer Ali dari Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa Asalibuha, penyunting Prof. Dr. H.M.D. Dahlan dan Dr. H.M.I. Soelaeman, (Bandung: Diponegoro, 1989), h. 189-193. Diuraikan dengan amat mengesankan Fungsi Mesjid, Fungsi Edukatif Mesjid, Fungsi Sosial Mesjid, serta Dampak Edukatif dan Sosial Mesjid Terhadap Kehidupan Ummat. Uraian al-Ustadz Prof. `Abdurrahman an-Nahlawi tersebut agaknya dapat menjadi perhatian dan dasar pemikiran untuk melahirkan sebuah konsep pola masyarakat muslim berbasis masjid.

[64]Jama`ah tetap yang dimaksud di sini ialah orang-orang muslim yang berada di sekitar wilayah masjid atau lebih jauh dari itu yang selalu shalat di masjid tersebut setiap harinya, sekurang-kurangnya pada shalat-shalat jahar (subuh, maghrib dan `isya), kecuali jika ada uzur tertentu. Hal ini untuk memberikan kesempatan bagi para pekerja yang berada di lokasi lain pada siang hari, seperti kantor atau tempat kerjanya yang berada jauh dari masjid tempatnya menjadi jama`ah tetap tersebut. Jama`ah tetap diambil dari para pemuda dan dewasa dan orang-orang yang telah berumah tangga. Jemaah tepat tersebut adalah orang-orang yang terdaftar di sekretariat masjid secara lengkap berdasarkan kartu keluarga mereka. Hal ini amat penting untuk perencanaan program, sekaligus untuk memudahkan pelayanan; baik layanan pengumpulan dan pendiftribusian zakat dan kurban, pendidikan, kursus maupun layanan lainnya. Selain jamaah tetap diatas itu, tentu juga ada jemaah yang bersifat temporer, seperti para musafir singgah atau jemaah dari masjid lain yang sengaja mengikuti kegiatan ibadah yang dilaksanakan di masjid tersebut.

Dengan adanya jemaah tetap pada masjid yang terakreditasi, diharapkan dapat menjadi jalan yang memudahkan konsolidasi untuk melayani kebutuhan beragama bagi umat muslim. Sekaligus guna menangkis faham-faham yang menyimpang agar tidak dapat mempengaruhi anggota masyarakat muslim setempat. Seperti menangkis paham agama Ghulamiyah (yang dikembangkan oleh Mirza Ghulam al-Kadzdzab), atau gerakan pemurtadan dari misionaris agama tertentu, paham agama liberalisme (sinkritisme), gerakan sempalan atau terorisme.

[65]Kurikulum diarahkan kepada pola pendidikan pesantren salafiyah yakni sistem halaqah (group study) yang disesuaikan dengan masa sekarang. Pengajaran dilakukan dengan membahas satu kitab tertentu secara tuntas dengan bimbingan guru (dalam hal ini para tuanku imam), untuk kemudian dijadikan pedoman beramal dan juga menjadi dasar bagi memahami “wacana pemahaman Islam” yang berkembang lainnya. Pola halaqah ini bukanlah sesuatu yang baru bahkan sekarang turut dibina oleh Departemen Agama. Lihat lampiran V, Keputusan Menteri Agama Nomor: 373 tahun 2002, Bagan Organisasi Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Tipologi I-A; di bawah Kepala Kanwil terdapat lima kepala Bidang, salah satunya Bidang Pekapontren, di bawah bidang ini terdapat seksi-seksi: pendidikan keagamaan, seksi pendidikan salafiyah, kerjasama kelembagaan dan pengembangan pontren (pondok pesantren), pelayanan pontren pada masyarakat dan pengembangan santri. Majalah Penuntun Amalbhakti Kantor Departemen Agama Sumatera Barat, edisi 01/tahun XII Januari 2005, h. 23.

Pola belajar dengan guru menggunakan sistem grup/halaqah ini menjadi cikal bakal berdirinya Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi oleh Inyiak Syekh Ibrahim Musa, demikian juga dengan Inyiak Canduang, dll. Bila dahulu sistem halqah berupa membahas kitab tertentu secara terurut hingga tamat dengan cara duduk di masjid melingkar di sekitar guru, maka metode ini dapat dilakukan juga dengan belajar berhadapan dengan menghadap kepada guru secara duduk bershaf, menggunakan meja mini, masing-masing murid mempunyai kitab yang dipelajari dan papan tulis atau alat peraga lainnya. Juga dapat dilakukan diruangan kelas. Ini hanya gambaran bahwa kata halaqah adalah sama dengan grup belajar, jadi bukan istilah untuk sesuatu yang berbau aneh.

[66]Buku yang dipakai al. susunan Sayyid Sabiq (Buku al-`Aqa’id Islamiyah yang telah mendapat rekomendasi dari Muktamar `Alam al-Islamiy), al-Hushun al-Hamidiyyah, atau al-Islam susunan Sa`id Hawwa dll. Pada dasarnya seluruh kitab yang akan dijadikan pegangan guru dan siswa adalah yang dipilih berdasarkan hasil musyawarah para tuanku imam atau rekomendasi MUI.

[67]Ada banyak buku yang dapat dijadikan dasar penyusunan silabus mata pelajaran fikih, sebagai mata kuliah pengantar a.l. karya: Sa`id Ramadhan al-Buthiy, Hukum Islam Ruang Lingkup dan Kandungannya diterjemahkan oleh Suadi Sa`ad dari Islamic Law its Scope and Equity, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1986) atau buku yang sama yang diterjemahkan oleh Badri Saleh dengan judul Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam, (Jakarta: Firdaus, 1991) buku ini cocok dijadikan sebagai pengantar pelajaran hukum Islam. Buku lainnya yang menjadi sumber rujukan seperti al-Fiqh `ala al-Madzahib al-Arba`ah oleh Abdurrahman al-Jaziriy yang juga ada terjemahannya, dengan mempelajari fikih ini diharapkan akan mencairkan semangat fanatik mazhab, terutama dalam persoalan ibadah mahdhah. Fiqh al-Sunnah oleh Sayyid Sabiq, buku al-Halal wa al-Haram dan Fiqh al-Zakah oleh Prof. Yusuf al-Qaradhawiy, buku Fiqh Muamalah oleh Prof. Dr. H. Nasrun Haroen, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), Al-Mu`in al-Mubin susunan Ungku Mudo Abd. Hamid Hakim, dll.

Tujuan pengajaran fikih dititikberatkan kepada pengamalan ibadah yang benar, dan paham yang moderat dalam persoalan fikih namun dengan tetap berpegang kepada prinsip-prinsip utama hukum Islam yaitu kesetiaan dan keta`atan kepada hukum Allah SWT, bukan sebaliknya (pengabaian dan meninggalkan). Maksudnya pola pikir masyarakat muslim ialah akal dan hatinya yakin dan tunduk kepada kebenaran seluruh syari`at yang Allah SWT turunkan kepada Nabi Muhammad SAW walaupun belum mampu mereka menerapkannya. Kebelummampuan menerapkannya adalah lahan perjuangan bagi setiap generasi muslim, tentunya perjuangan yang benar menurut sunnah, bukan terorisme atau anarkhis.

Dengan menyadarinya demikian diharapkan sikap mendua antara beriman dan menolak sebagian syari`at Islam dapat dikikis dari pola pikir dan hati sebagian umat Islam yang masih ragu terhadap kebenaran dan kerelefanan syari`at Islam untuk seluruh zaman dan umat manusia. Penekanan yang penting lainnya ialah pada pola pikir bahwa bila syari`at Islam dapat diterapkan pada sebuah negeri atau negara berarti Allah SWT telah mengizinkan negeri itu untuk menjadi baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur. Izin tersebut diberikan Allah SWT jika negeri atau negara tersebut telah memenuhi syarat-syarat kelayakan untuk penerapan syari`at Islam.

Bila syarat kelayakan penerapan belum dipenuhi, maka penerapan yang tidak memenuhi syarat akan berdampak buruk kepada citra syari`at Islam itu sendiri. Sebab berkemungkinan besar, pemaksaan atas penerapannya hanyalah kepentingan politik kelompok tertentu saja. Kaidahnya ialah: bahwa syari`at Islam adalah hak Ilahiy, penerapannya dengan benar membawa keberkahan, dan keberkahan itu sangat dibutuhkan umat manusia dan ia juga keberuntungan hidup bagi mereka. Hanya masyarakat yang layak saja yang dapat keberkahan itu. Penerapannya secara menyimpang akan menimbulkan kekacauan dan membuat citra agama Islam menjadi rusak. Standar kelayakan itulah yang harus diwujudkan dengan jalan dakwah, pendidikan dan kepemimpinan yang Islamiy. Banyak usaha penerapan syari`at Islam di berbagai negara yang berujung kegagalan karena mereka belum layaknya menjadi penerima berkah tersebut atau mungkin karena sangat berlebihan dalam memahami ikatan syari`at Islam sehingga bertindak melampaui batas. Padahal bila kita sudah memiliki kelayakan sebagai penerap syari`at Islam, maka jalan untuk itu akan dimudahkan oleh Allah SWT. Hal inilah yang harus dicapai lebih dahulu. Namun demikian orang yang menentang penerapan syari`at Islam yang berasal dari kalangan umat Islam adalah biang kehancuran umat ini.

[68]Sekurang-kurangnya mempelajari Tafsir al-Jalalain, lebih baik lagi jika ditambah dengan tafsir al-Hakim susunan Syekh Muhammad Rasyid Ridha atau tafsir al-Maraghiy. Untuk alternatif lainnya seperti tafsir al-Azhar susunan Buya HAMKA dan al-Mishbah susunan Prof. Dr. Quraish Shihab, M.A., dll.

[69]Paling kurang kitab Subul al-Salam susunan al-Imam Muhammad ibn Isma`il al-Shan`aniy.

[70]Akhlaq tasawwuf adalah bagian mata pelajaran yang tidak boleh diabaikan. Pengajarannya harus menjurus kepada pengamalan untuk menjadi insan yang berakhlak mulia, bukan teori atau wacana perbedaan pendapat para penulis. Karena itu tasawwuf diarahkan kepada amalaiyah bukan teori mistis dan filsafat ilmu kalam. Rujukan utama yang dipergunakan ialah a.l: Buya Hamka, Tasawwuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1990), Sa`id Hawwa, Intisari Ihya’ `Ulumuddin al-Ghazali-Mensucikan Jiwa Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, diterjemahkan oleh Ainur Rafiq saleh Tamihid dari al-Mustakhlish fi Tazkiyat al-Anfus, (Jakarta: Rabbani Press, 2000); Sayyid Muhammad Nuh, Terapi Mental Aktivis Harakah Telaah Atas Penyakit Mental dan Sosial Kontemporer Para Da`i, diterjemahkan oleh A`ad Yasin dan Salim Bazemool dari Afat `ala al-Thariq, (Solo: Pustaka Mantiq, 1994); Muhammad Abd Haq Anshari, Merajut Tradisi Syari`ah dengan Sufisme Mengkaji Gagasan Mujaddid Syekh ahmad Sirhindi, diterjemahkan oleh Ahmad Nasir Budiman dari Sufism and Shari`ah: a Study of Syaikh Ahmad Sirhindi’s Effoert to Reform Sufism, (Jakarta: RajaGrafindo Perkasa, 1997), dan berbagai buku yang relevan lainnya seperti toeri pembinaan ESQ oleh Ary Ginanjar, Belajar EQ dan SQ dari Sunah Nabi (al-Hadist al-Nabawiy wa `Ilm al-Nafs), oleh M. Utsman Najati, dan lain-lainnya.

[71]Fiqhus Sirah yang dipergunakan a.l susunan Syekh Muhammad al-Ghazaliy dan Sa`id Ramadhan al-Buthiy.

[72]Salah satu cara untuk menumbuhkan cara pandang yang tertuntun wahyu ialah para santeri (student mosque) harus menamatkan bagian kurikulum seri memahami ayat-ayat tentang penciptaan alam dan segala isinya dengan menggunakan paket ilmu pengetahuan susunan Harun Yahya dan timnya. Mata pelajaran ini dapat dinamakan dengan pelajaran tentang ayat kauniyah ilahiyah.

[73]Setiap santri masjid diberikan waktu setor hafalan ayat kepada Tuanku Imam 10 hingga 15 menit perorang perminggu dengan jumlah minimal satu halaman mushaf (10-15 ayat). Pembinaan penghafalan al-Qur’an juga dapat dilakukan kepada semua masyarakat yang berminat. Tuanku berfungsi sebagai mursyid untuk mengarahkan akhlak dan menerima setoran penghafal. Untuk itu dibuatkan jadwal bagi setiap masing-masing murid peserta program penghafalan ini, juga diringi dengan memberikan syarah terhadap kandungan ayat-ayat tersebut berdasarkan kitab-kitab tafsir yang mu`tabarah seperti tafsir Jalalain, tafsir al-Maraghiy, atau tafsir tertentu yang dijadikan kitab pegangan bagi seluruh tuanku imam dalam mengajarkan tafsir kepada jamaah masjid. Lihat lebih lanjut pedoman dan teknik menghafal al-Qur’an pada: Abdul Aziz Abdul Rauf, Kiat Sukses Menjadi Hafizh Qur’an Dai`yah, (Bandung: Asy Syamil, 2000), dan Ahsin W. Al-Hafizh, Bimbingan Praktis Menghafal Al-Qur’an, (Jakarat: Bumi Aksara, 2000).

[74]Pusat kegiatan dakwah agama artinya di masjid terdapat tempat/ruangan khusus yang berfungsi sebagai tempat perencanaan program-program dakwah, pengevaluasiannya (labor dakwah) dan pembinaan para calon/da`i muda. Pusat kegiatan ini dilengkapi dengan perpustakaan, komputer, in focus, vidio dan audio visual, alat komunikasi (telpon/faks/internet), peralatan shoting (camera vidio), dll. Peralatan tersebut disediakan jika benar-benar telah dibutuhkan serta dapat dioperasikan oleh imam dan timnya semata-mata untuk kepentingan dakwah dan dokumentasainya jika memang diperlukan. Karena itu imam dan timnya harus menguasai penggunaan alat dan media elektronik sebagai sarana dakwah Islamiyyah. Untuk tahap tertentu juga diberikan materi perbandingan agama, seperti Kristologi dll, gunanya untuk mengetahui sejauh mana posisi agama lain tersebut dipandang dari sudut akidah Islam, dan sebagai bahan untuk pelaksanaan dakwah. Di antara buku yang dapat digunakan sebagai rujukan metode dakwah ialah: Fiqhud Dakwah oleh M. Natsir ; Da`wah Fardiyyah oleh Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, dll.

[75]Pembinaan yang rutin untuk para mu’allaf sering terlupakan. Kebiasaan sebagian masyarakat muslim ialah bangga kalau ada orang yang masuk agama Islam setelah dia meninggalkan keyakinannya yang terdahulu, apalagi kalau orang itu terkenal. Tetapi setelah proses ikrar syahadat tidak ada pihak yang “secara jelas bertanggung jawab” untuk membina mu’allaf itu secara rutin sampai dia dapat dipandang bukan mu’allaf lagi. Banyak para mu’allaf yang pendalaman ilmu ke Islamannya terbengkalai kemudian ke Islamannya itu tidak terlihat lagi, seperti tidak lagi shalat dll. Hal seperti ini harus dihindari. Untuk itu imam masjid dan timnya bertanggung jawab memberikan pembinaan yang mencukupi terhadap para mu’allaf yang berdomisisli di wilayah masjidnya. Wilayah masjid yaitu ukuran radius empat puluh rumah paling kurang dari masjid sebagai pusat lingkaran, atau yang sebanding dengannya.

[76]Maksudnya, tuanku imam harus menyiapkan hafalannya agar tidak tersalah dalam membaca ayat di waktu memimpin shalat. Ayat yang dibaca dipilih secara bergantian dari beberapa topik, berurutan dari juz awal hingga akhir, atau menurut peristiwa-peristiwa yang tengah aktual.

[77]Sesuai dengan harapan yang cukup besar untuk terlahir kemudian sebagai ulama, seharusnya para tuanku imam senantiasa menambah ilmu pengetahuan, kompetensi dan keahliannya dalam bidang syari`ah, tafsir dan hadis. Hingga satu saat kebanyakan dari mereka memiliki kualitas akademik yang setara dengan para dosen UIN/IAIN. Para tuanku imam diharapkan menjadi bagian langsung dari anggota Majelis Ulama Indonesia, baik untuk tingkat daerah maupun pusat. Bila sudah menjadi tuanku imam besar (hafizh 30 juz, dan telah 20 tahun menjadi tuanku imam), berjuang dalam memimpin umat muslim, didukung dengan sosok pribadi yang konsekwen dalam beragama dan berakhlak mulia. Apalagi bila sudah doktor dalam ilmu fikih, tafsir atau hadis, tentu sudah layak disebut sebagai ulama yang sebenarnya. Bahkan untuk tingkat internasionalpun mereka akan diakui sebagai ulama.

[78]Ada dua langkah yang kemungkinan dapat dilaksanakan, pertama menjadikan lembaga keimaman ini independen seperti MUI dan swadana seperti pesantren. Langkah ke-dua menjadikannya bernaung di bawah salah satu direktorat departemen agama. Mungkin di bawah Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, sehingga menjadi Dirjen Bimas Islam Urusan Haji dan Keimaman. Bila berada di bawah Departemen Agama, maka para Tuanku Imam adalah pegawai negeri dengan jabatan fungsional Tuanku Imam. Seperti halnya guru, dosen, penyuluh, atau penghulu. Jalan lain yang agak enteng tapi akan menjadi kurang bermakna ialah jika sekedar memanfaatkan tenaga fungsional PNS yang telah ada sebagai imam; tugas sambilan di samping tugas pokoknya. Namun jika demikian yang dilakukan, maka jangan terlalu banyak berharap akan lahir imam yang pemimpin bagi jamaah, seperti gagasan awal menuju pembentukan lembaga ini yang diuraikan sebelumnya. Imam sambilan ini tidak lebih dari fungsi pinggiran yang tak akan memenuhi harapan umat. Kalau urusan keimaman ini dapat dijadikan berada di bawah naungan departemen agama maka jabatan fungsional keimaman haruslah tersendiri dan mempunyai organisasi profesi tersendiri pula seperti halnya fungsional yang lainnya.

[79]Lihat kembali H. Zainal Ahmad Noeh, ibid.

[80]Dalam konsep fikih siyasah setingkat dengan jabatan al-amir.

[81]Ideal jika bisa dibuat peraturan daerahnya, namun ada atau tidak adanya perda itu pada saat sekarang ini tidak boleh menjadi penghalang. Perda tersebut bisa saja dibuat asal ada kemampuan anggota dewan yang memiliki niat yang sama untuk ini membawa anggota lainnya untuk bersama-sama menggolkan perda tersebut. Namun bila tidak berhasil pada periode sekarang, semoga pada periode selanjutnya akan terwujud.

[82]Program keimamahan masjid ini sebenarnya bukanlah khusus ditujukan untuk wilayah Sumatera Barat. Hanya dimulai di Sumatera Barat karena proposal ini dibuat oleh putra kelahiran Sumatera Barat, dan dengan alasan bahwa berdasarkan sejarah, Minangkabau seringkali menjadi pemula dalam melakukan proses kebangkitan intelektual muslim di banding daerah lainnya, tetapi itu dahulu. Revitalisasi dan reaktualisasi fungsi keimaman masjid ini hanyalah wasilah untuk mencapai kebangkitan umat muslim yang terarah dan merata dengan tujuan untuk memciptakan pola masyarakat muslim berbasis masjid. Bila tidak dimungkinkan di Sumatera Barat, maka program ini akan secara serentak juga ditawarkan kepada propinsi lain yang adat istiadatnya relefan dengan program ini, seperti Nangroe Atjeh Darussalam, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Gorontalo (propinsi ini juga bersemboyankan adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah), dll. Pada akhirnya nanti, program ini diharapkan berjalan untuk seluruh wilayah Indonesia terutama yang berpenduduk mayoritas muslim. Dasar lainnya yang menjadi pertimbangan ialah bahwa di Sumatera Barat ada perguruan tinggi Islam yang mendidik calon hafizh (STAIPIQ di Padang) dan berdekatan dengannya juga berdiri Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol (di antara program konsentrasinya ialah syari`ah dan tafsir–hadis).

Bila dahulu pendidikan para hafizh untuk kegiatan MTQ dan STQ, maka masa depan program hafizh untuk melahirkan para tuanku imam, pemimpin umat masa depan. Mereka dapat membina pula para hafizh mulai dari tingkat anak-anak hinga manula di setiap masjid, baik melalui progran pesantren masjid/pesurauan atau majelis ta`limnya. Sehingga menghafal al-Qur’an menjadi bagian dari kegiatan harian generasi muda muslim masa datang, tanpa pandang mereka berasal dari sekolah agama atau umum. Sekian tahun mendatang, tidak aneh lagi seorang dokter misalnya ternyata qari dan hafizh.

[83]Pada prinsipnya pemerintah hanyalah melahirkan lembaga ini, setelah lembaga ini mapan ia harus terlepas dari pengaruh pemerintah. Para tuanku imam diharapkan menjadi ulama-ulama yang akan mengisi keanggotaan MUI di masa datang. Pertimbangannya ialah keilmuan, pendidikan, kompetensi, pengabdian dakwah dan kesalehan. Semoga tidak ada lagi kelangkaan ulama yang fuqaha’ di masa datang.

[84]Fahmi Huwaidi, Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani, diterjemahkan dari judul aslinya: Al-Islam wa al-Dimuqrathiyyah, oleh Muhammad Abdul Ghaffar, (Bandung: Mizan, 1996), h.166-167 menyatakan; “Penegakan agama, pemakmuran dunia, serta pemeliharaan atas semua kemaslahatan umum merupakan tanggung jawab umat dan bukan hanya tanggung penguasa saja. (al-Maidah [5]:8)…Setiap orang yang mampu berkewajiban untuk memberikan hartanya sebagai saham guna mewujudkan jaminan tersebut. Zakat dikeluarkan bukan sebagai “patungan” atau sebagai “kebaikan” dalam artian strata, tetapi lebih dari itu, zakat dikeluarkan karena memang itu hak orang lain, atau dalam istilah lain diibaratkan sebagai “hak Allah SWT”….Sejarah telah mencatat bahwa masyarakat Islam dipenuhi oleh berbagai lembaga dan yayasan, yang disemarakkan oleh beberapa pihak, sejak dari kelompok para ulama, para hakim, dan juga mufti, sampai para buruh dan perusahaan. Selain itu masjid juga menjadi pusat penyebaran kebudayaan. Dan lembaga perwakafan merupakan merupakan lembaga besar dan independen yang didirikan orang-orang dengan biaya yang dikeluarkan dari saku mereka sendiri, lembaga tersebut telah memerankan peranan yang besar dalam menjamin kebutuhan-kebutuhan “pertahanan sosial” dalam tubuh umat. Orang yang mengkaji dengan benar-benar apa yangtelah ditulis oleh Dr. Mushtafa As Siba`i dalam bukunya yang berjudul Min Rawai`i Hadharatina dan Muhammad Amin dalam disertasi doktornya yang membahas sekitar masalah al-Awqaf wa al-Hayat al-Ijtima`iyyah fi Mishr (Wakaf-wakaf dan Kehidupan Sosial di Mesir), niscaya ia akan mendapatkan target yang telah dicapai dari wakaf-wakaf yang telah dikeluarkan dalam memenuhi tuntutan sosial dan kebudayaan Realitas tersebut dapat kita saksikan dari keberdanaan lembaga-lemabga pendidikan, perpustkaan, masjid-masjid, sampai pada rumah sakit-rumah sakit dan penginapan-penginapan. Demikianlah masyarakat Islam telah mengatur dan memenuhi kebutuhan mereka sendiri jauh sebelum muncul pemikiran “masyarakat modern” yang sebagian orang lebih tertarik kepadanya (masyarakat modern) pada saat sekarang ini”. Hendaknya umat muslim di Indonesia belajar dari kenyataan di Mesir sebagaimana yang diterakan oleh Fahmi Huwaidi tersebut. Bila dibandingkan dengan wilayah Mesir atau Timur Tengah pada umumnya maka Luasnya wilayah Indonesia (daerah Sumatera Barat khususnya) amat memungkinkan untuk membuat perkebunan wakaf, yang berisi sawit, kakao, kelapa, pinang atau tumbuhan produktif lainnya. Hasilnya dipergunakan untuk menggaji dan menjamin kesejahteraan para tuanklu imam dan keluarganya serta sebagiannya untuk pembiayaan kegiatan pesantren masjid (pasurauan) dan kegiatan penunjang lainnya. Pengelolaan wakaf wajib dilaksanakan secara bertanggungjawab memenuhi syarat syaria`t dan amanah. Untuk peningkatan produktifitasnya dapat dilakukan dengan mendirikan perusahaan terbuka (PT) sebagai perpanjang tangan dari lembaga kenadziran. Namun cara ini hanya salah satu jalan untuk dapat menjamin keberlangsungan lembaga keimaman, sehingga lembaga keimaman ini berumur panjang dan terjaga independensinya bagaikan al-Azhar yang telah berumur lebih dari seribu tahun hingga sekarang.

[85]Istilah-istilah tersebut di atas bertujuan untuk mendekatkan pola pikir, tanggung jawab, rasa dan misi. Organisasi besar umat Islam seperti Nahdahtul Ulama (NU) dll, juga mempergunakan istilah seperti: Rais Syuriah, Rais `Amm, Tanfizh, Mustasyar, Mu`tamar, Khiththah dll. Tujuannya agar mendekatkan rasa bahasa tersebut dengan budaya keulamaan di kalangan umat muslim. Tentunya penggunaan istilah seperti ini lebih baik ketimbang diimpor dari bahasa lain, apalagi yang tidak punya hubungan relefansi dengannya. Maka belajar dari hal yang baik tersebut, dalam lembaga keimaman ini penggunaan istilah yang terdapat dalam kebiasaan ulama Islam tersebut juga dipergunakan.

[86]Untuk mengetahui lama tugas masing-masing tuanku imam di berikan Nomor Induk Pengukuhan Keimaman (NIPK layaknya NIP). Dalam urutan nomor itu dicantumkan tahun pengukuhannya (masehi dan hijriyyah) seperti: bila ia adalah orang pertama diangkat menjadi tuanku imam yang dikukuhkan pada tahun 1426 yang bertepatan dengan 2005 maka nomornya ialah 142.001.005. Artinya: 142 (diambil dari tiga angka pertama tahun Hijriyyah 1426, dengan menghilangkan angka satuannya, sehingga perubahan angka depan ini hanya terjadi dalam kelipatan sepuluh tahun hijriyyah saja) 001 (urutan masing-masing imam yang diangkat secara nasional dalam tahun Masehi tersebut) 005 (tahun Masehi dari 2005 dengan mengilangkan ribuannya, angka ini akan berubah setiap tahun). Demikian dengan urutan NIPK selanjutnya, seperti tuanku imam yang dikukuhkan pada tahun 1427 H/2006 M, urutan ke 99 pada tahun 2006 itu, ialah 142.099.006. Dengan menggunakan sistem angka seperti ini maka seluruh tuanku imam dapat diketahui nomor urutnya menurut tahun mulai bertugas dan jumlah imam yang terangkat setiap tahunnya. Sistem ini sangat penting artinya untuk memudahkan urusan administrasi lembaga keimaman itu sendiri.

[87]Lihat: H.Kafrawi, M.A., Pembaharuan Sistim Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1978), h. 20-25, 168-170.

[88]Pendidikan keimaman bukanlah pendidikan biasa, tetapi pendidikan untuk calon pemimpin umat (lihat bagan yang terlampir, halaman 33, 34 dan 35). Karena itu tentu hanya para ulama dengan kriteria tertentu dapat diangkat sebagai murabbi (pembina) calon tuanku imam, misalnya sebagai pembina tahsin qira’ah dan tartil berasal dari Ustadz dan Hafizh dari STAIPIQ Padang. Sedangkan sebagai pembina bidang keilmuan dan bahasa dimohon kesediaan dan sumbangan tenaga dari para ulama, para guru besar dan doktor di kalangan perguruan tinggi Islam, praktisi dan lainnya, baik yang berasal dari dalam atau luar Sumatera Barat. Perpaduan ini amat penting, di samping kompetensi masing-masingnya juga karena program ini berkemungkinan akan diikuti oleh calon tuanku imam dari luar wilayah Sumatera Barat bahkan dari negara tetangga. Pendidikan ini di samping hanya diikuti oleh para magister dengan syarat-syarat tertentu juga diprogram memiliki taraf kualitas pendidikan Islam Internasional. Namun dengan didukung oleh kurikulum yang dapat dipakai untuk pembinaan masyarakat muslim secara luas, sebagai Masyarakat Muslim Berbasis Masjid (MMBM). Oleh sebab itu pemilihan tenaga pendidik haruslah dengan mempertimbangkan kompetensi keahlian masing-masing, semangat dakwah Islamiyah dan kepedulian yang tinggi yang mereka miliki dalam upaya untuk pembangunan umat Islam pada umumnya. Bahasa pengantar pendidikan akan lebih banyak menggunakan bahasa Arab dan Inggeris. Di samping itu para calon tuanku imam juga mengikuti pelatihan MQ dari KH. Ir. Abdullah Gymnastiar, ESQ dari Ary Ginanjar, pelatihan dzikir dan munajat oleh Ustadz H. Muhammad Arifin Ilham. Dan jika memungkinkan ditambah dengan pelatihan tarikat oleh beberapa orang guru thariqat yang mu`tabarah dari al-Syadzaliyyah, al-Sanusiyyah, al-Qadiriyyah, al-Naqsyabandiyyah dll.

Sebagaimana yang telah disingung sebelumnya bahwa pendidkan keimaman bukan hanya sekedar upaya untuk meningkatkan kompetensi keilmuan dan logika semata tetapi juga sarat dengan pelatihan bagi peningkatan kekuatan ruhiyah, sehingga dapat membantu para tuanku mencapai maqam ma`rifatullah nantinya, walaupun hidup mereka berkecimpung dengan tugas-tugas yang berat di dunia yang modern. Jika untuk menjadi calon lurah dan camat seseorang harus masuk dalam pendidikan di STPDN dengan kwalifikasi nilai cukup tinggi dan dengan standar tertentu. Begitu juga jadi perwira militer harus masuk Akademi Militer dengan berbagai pendidikan dan gemblengan. Sebagaimana halnya memilih calon pemimpin, untuk menjadi Tuanku Imam tentu juga harus memilki kwalifikasi, sistem rekrutmen dan pendidikan yang baik. Apalagi jika suatu saat para tuanku imam harus mampu menjadi pembimbing bagi pejabat negara dan para perwira tinggi militer. Bahkan jika diperlukan para tuanku imam juga termasuk orang yang cakap untuk memegang jabatan kenegaraan, kenapa tidak. Bukankah di dalam negara demokrasi pilihan terhadap calon pemegang kekuasaan negara ditentukan oleh suara rakyat.

[89]Pendidikan ini dapat dilakukan di beberapa tempat seperti untuk kegiatan tahfizh dilaksanakan di STIQ Padang, pendidikan keilmuan di PPS IAIN IB Padang, MQ dan ESQ di Pesantren Darut Tauhid Bandung, pelatihan dzikir, muhasabah dan munajat (di beberapa masjid tempat para ulama legendaris seperti: Masjid Jami` Syekh Ibrahim Musa Parabek Bukittinggi, Masjid Jihad Padang Panjang, Masjid Jami` Padang Luar Bukittinggi, Masjid Inyiak Canduang, dll). Untuk pengayaan rasa kecintaan dan wawasan kemasjidan, maka sebelum dikukuhkan, para tuanku imam dibawa berziarah dari masjid ke masjid bersejarah yang penting dan terkemuka sekuran-kurangnya sewilayah Sumatera selama satu bulan). Memperhatikan kegiatan kunjungan dari masjid ke masjid yang dilakukan oleh sebagian kelompok dakwah umat Islam tertentu seperti Jamaah Tabligh, ternyata memberikan dampak yang amat baik bagi menumbuhkan penghayatan mereka terhadap nilai-nilai keutamaan masjid sebagai basis pergerakan hidup bagi umat Nabi Muhammad SAW. Berkaitan dengan segala hal yang bersifat teknis, dalam pelaksanaan kegiatan ini, dapat diatur menurut kemampuan dan kondisi, tentunya dengan mengambil pilihan yang terbaik.